REPUBLIKA.CO.ID, BERLIN -- Parlemen Jerman menyetujui legislasi yang bertujuan mempermudah deportasi bagi pengungsi yang tidak berhasil mendapatkan suaka. Langkah ini seiring upaya Kanselir Olaf Scholz meredakan isu imigrasi sebagai masalah politik.
Undang-undang itu diperkirakan akan menambah jangka waktu penahanan sebelum deportasi dari 10 menjadi 28 hari. Terutama, bagi orang-orang anggota organisasi kriminal.
Legislasi ini juga memberi izin pada petugas melakukan penggeledahan di kediaman untuk mencari dokumen untuk menetapkan identitas seseorang dan menghapus kewajiban bagi petugas untuk memberi notifikasi deportasi bagi kasus-kasus tertentu. Tempat penampungan dan pengungsian Jerman semakin penuh beberapa bulan terakhir.
Karena jumlah pencari suaka naik signifikan dengan bertambahnya satu juta warga Ukraina yang tiba di negara itu sejak Rusia menyerang negara mereka. Sebagian besar pencari suaka yang ditolak di Jerman masih dapat meminta izin tinggal sementara untuk beberapa alasan termasuk sakit, memiliki anak yang mendapatkan izin tinggal atau kekurangan dokumen identitas.
Belum diketahui seberapa besar dampak peraturan baru. Deportasi dapat gagal untuk beberapa alasan, termasuk alasan yang diatur perundang-undangan juga tidak adanya kerja sama dari negara asal imigran.
Jerman juga mencoba membuat kesepakatan dengan berbagai negara untuk mengatasi masalah ini sambil membuka kesempatan bagi imigrasi legal. Pemungutan suara parlemen pada Kamis (18/1/2024) dilakukan saat puluhan ribu orang turun ke jalan memprotes rencana kelompok sayap kanan mendeportasi imigrasi, termasuk mereka yang memiliki kewarganegaraan Jerman.
Scholz mengecam rencana yang menurut laporan media dipaparkan dalam rapat yang dihadiri partai sayap kanan Alternative for Germany (AfD) bulan November lalu. Parlemen Jerman akan kembali menggelar pemungutan suara pada Jumat (19/1/2024) mengenai legislasi yang melonggarkan peraturan kewarganegaraan. Proyek yang pemerintah upayakan untuk mengintegrasikan imigran dan membantu perekonomian yang kekurangan tenaga kerja terampil.