REPUBLIKA.CO.ID, DOHA – Pemerintah Qatar geram karena perannya sebagai mediator dalam perundingan Israel dengan Hamas diduga disepelekan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu. Doha menilai, komentar Netanyahu tersebut akan melemahkan upaya menyelamatkan orang-orang Israel yang kini masih disandera Hamas.
“Kami terkejut dengan pernyataan yang dituduhkan perdana menteri Israel di berbagai pemberitaan media tentang peran mediasi Qatar. Pernyataan ini, jika divalidasi, tidak bertanggung jawab dan merusak upaya menyelamatkan nyawa tak berdosa, namun hal ini tidak mengejutkan,” kata Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Qatar Majed Al-Ansari, Rabu (24/12/2024), dikutip laman Anadolu Agency.
Pernyataan Al-Ansari muncul setelah stasiun televisi Israel, Channel 12, menyiarkan rekaman suara Netanyahu. Dalam rekaman itu, Netanyahu mengatakan, dia tidak secara terbuka berterima kasih kepada Qatar.
Meski membantu proses negosiasi, Netanyahu menilai Doha tak mengambil tindakan cukup untuk menekan Hamas. Netanyahu pun menyarankan Amerika Serikat (AS) agar memberi tekanan lebih besar kepada Qatar.
“Jika pernyataan yang dilaporkan itu benar, perdana menteri Israel hanya akan menghalangi dan melemahkan proses mediasi karena alasan yang tampaknya menguntungkan karier politiknya daripada memprioritaskan penyelamatan nyawa tak berdosa. Termasuk para sandera warga Israel,” kata Al-Ansari.
“Daripada memikirkan hubungan strategis Qatar dengan AS, kami berharap Netanyahu memutuskan untuk bertindak dengan itikad baik dan berkonsentrasi pada pembebasan para sandera,” tambah Al-Ansari.
Belum ada pernyataan dari kantor Netanyahu terkait komentar Al-Ansari. Al-Ansari mengatakan, setelah kesepakatan gencatan senjata Israel-Hamas yang dicapai November tahun lalu gagal diperpanjang, Qatar terus terlibat dalam dialog intens dengan para pihak berkepentingan. Dia menyebut, hingga saat ini negaranya masih mengupayakan tercapainya gencatan senjata baru di Gaza.
Pada Rabu (24/1/2024), Pemerintah Israel menolak seruan gencatan senjata di Jalur Gaza. “Tidak akan ada gencatan senjata. Dulu ada jeda untuk tujuan kemanusiaan. Perjanjian itu dilanggar oleh Hamas,” kata juru bicara pemerintah Israel, Ilana Stein.
Stein pun membantah laporan yang menyebut adanya potensi Israel dan Hamas menyepakati jeda pertempuran kembali. “Mengomentari perjanjian gencatan senjata yang dilaporkan, Israel tidak akan menyerah dalam penghancuran Hamas, kembalinya semua sandera, dan tidak akan ada ancaman keamanan dari Gaza terhadap Israel,” ucapnya.
Sebelumnya seorang sumber Palestina juga membantah kabar tentang tercapainya kesepakatan gencatan senjata antara Hamas dan Israel. “Belum ada kesepakatan awal atau akhir yang dicapai mengenai pertukaran tahanan atau gencatan senjata di Gaza,” kata sumber tersebut kepada kantor berita Turki, Anadolu Agency, Rabu kemarin.
Kendati demikian, dia menyebut negosiasi masih berlangsung. “Hamas menuntut kesepakatan yang mengakhiri perang Israel dan memungkinkan penarikan pasukan Israel dari Gaza,” ucapnya.
Menurut sumber Palestina tersebut, Hamas masih mempelajari usulan pertukaran sandera Israel dengan tahanan Palestina yang disodorkan Tel Aviv. “Hamas belum memberikan tanggapan akhir. Kedua belah pihak hampir mencapai kesepakatan dalam beberapa hal, namun hal ini tidak berarti kita mencapai kesepakatan,” ungkapnya.
Menurut statistik Israel, Hamas menculik sekitar 239 orang ketika mereka melakukan operasi infiltrasi ke Israel pada 7 Oktober 2023 lalu. Pada 24 November hingga 1 Desember 2023, Israel dan Hamas sempat memberlakukan gencatan senjata kemanusiaan.
Selama periode tersebut, kedua belah pihak melakukan pertukaran pembebasan tahanan dan sandera. Hamas membebaskan 105 sandera. Mereka terdiri dari 81 warga Israel dan sisanya adalah warga asing. Sebagai imbalan atas pembebasan para sandera, Israel membebaskan 240 tahanan Palestina.
Pada 9 Desember 2023 lalu, Israel mengatakan Hamas masih menahan 137 sandera di Gaza. Hamas sempat menyampaikan bahwa mereka telah kehilangan kontak dengan sejumlah sandera akibat agresi tanpa henti Israel ke Gaza. Hamas memperkirakan beberapa sandera telah terbunuh serangan Israel.
Saat ini pertempuran masih berlangsung di Gaza. Konfrontasi sengit berlangsung di Khan Younis, Jalur Gaza selatan. Sejauh ini lebih dari 25.700 warga Gaza telah terbunuh akibat agresi Israel yang dimulai pada 7 Oktober 2023. Sementara korban luka melampaui 63.700 orang.