Jumat 26 Jan 2024 15:03 WIB

Kepala CIA dan Mossad akan Temui PM Qatar Bahas Kesepakatan Pembebasan Sandera

Pemerintah Qatar mengutarakan kegusarannya karena perannya sebagai mediator.

Rep: Kamran Dikarma/ Red: Gita Amanda
Direktur Badan Intelijen Pusat Amerika Serikat (CIA) William Burns dan Direktur Badan Intelijen Israel (Mossad) disebut akan bertemu dengan Perdana Menteri Qatar Sheikh Mohammed bin Abdul. (ilustrasi)
Foto: AP Photo/Jacquelyn Martin
Direktur Badan Intelijen Pusat Amerika Serikat (CIA) William Burns dan Direktur Badan Intelijen Israel (Mossad) disebut akan bertemu dengan Perdana Menteri Qatar Sheikh Mohammed bin Abdul. (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Direktur Badan Intelijen Pusat Amerika Serikat (CIA) William Burns dan Direktur Badan Intelijen Israel (Mossad) disebut akan mengadakan pertemuan dengan Perdana Menteri Qatar Sheikh Mohammed bin Abdulrahman Al Thani di Eropa akhir pekan ini. Mereka bakal membahas tentang potensi kesepakatan pertukaran sandera Israel yang ditawan Hamas dengan tahanan Palestina.

Agenda pertemuan antara Burns, Barnea, dan Sheikh Mohammed, diungkap dua orang sumber kepada Reuters, pada Kamis (25/1/2024). Seorang sumber lainnya mengatakan, Kepala Badan Intelijen Umum Mesir Abbas Kamel akan turut berpartisipasi dalam pertemuan tersebut. CIA masih menolak mengomentari laporan tentang agenda pertemuan Burns dengan Barnea, Kamel, dan Sheikh Mohammed.

Baca Juga

Sebelumnya Pemerintah Qatar telah mengutarakan kegusarannya karena perannya sebagai mediator dalam perundingan Israel dengan Hamas diduga disepelekan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu. “Kami terkejut dengan pernyataan yang dituduhkan kepada perdana menteri Israel di berbagai pemberitaan media tentang peran mediasi Qatar. Pernyataan ini, jika divalidasi, tidak bertanggung jawab dan merusak upaya menyelamatkan nyawa tak berdosa, namun hal ini tidak mengejutkan,” kata Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Qatar Majed Al-Ansari, Rabu (24/12/2024), dikutip laman Anadolu Agency.

Pernyataan Al-Ansari muncul setelah stasiun televisi Israel, Channel 12, menyiarkan rekaman suara Netanyahu. Dalam rekaman itu, Netanyahu mengatakan, dia tidak secara terbuka berterima kasih kepada Qatar. Meski membantu proses negosiasi, Netanyahu menilai Doha tak mengambil cukup tindakan untuk menekan Hamas. Netanyahu pun menyarankan Amerika Serikat (AS) agar memberi tekanan lebih besar kepada Qatar.

“Jika pernyataan yang dilaporkan itu benar, perdana menteri Israel hanya akan menghalangi dan melemahkan proses mediasi karena alasan yang tampaknya menguntungkan karier politiknya daripada memprioritaskan penyelamatan nyawa tak berdosa, termasuk para sandera warga Israel,” kata Al-Ansari.

“Daripada memikirkan hubungan strategis Qatar dengan AS, kami berharap Netanyahu memutuskan untuk bertindak dengan itikad baik dan berkonsentrasi pada pembebasan para sandera,” tambah Al-Ansari.

Belum ada pernyataan dari kantor Netanyahu terkait komentar Al-Ansari. Al-Ansari mengatakan, setelah kesepakatan gencatan senjata Israel-Hamas yang dicapai November tahun lalu gagal diperpanjang, Qatar terus terlibat dalam dialog intens dengan para pihak berkepentingan. Dia menyebut, hingga saat ini negaranya masih mengupayakan tercapainya gencatan senjata baru di Gaza. 

Pada Rabu (24/1/2024) lalu, Pemerintah Israel menolak seruan gencatan senjata di Jalur Gaza. “Tidak akan ada gencatan senjata. Dulu ada jeda untuk tujuan kemanusiaan. Perjanjian itu dilanggar oleh Hamas,” kata juru bicara pemerintah Israel, Ilana Stein.

Stein pun membantah laporan yang menyebut adanya potensi Israel dan Hamas menyepakati jeda pertempuran kembali. “Mengomentari perjanjian gencatan senjata yang dilaporkan, Israel tidak akan menyerah dalam penghancuran Hamas, kembalinya semua sandera, dan tidak akan ada ancaman keamanan dari Gaza terhadap Israel,” ucapnya.

Sebelumnya seorang sumber Palestina juga membantah kabar tentang tercapainya kesepakatan gencatan senjata antara Hamas dan Israel. “Belum ada kesepakatan awal atau akhir yang dicapai mengenai pertukaran tahanan atau gencatan senjata di Gaza,” kata sumber tersebut kepada kantor berita Turki, Anadolu Agency, Rabu kemarin.

Kendati demikian, dia menyebut negosiasi masih berlangsung. “Hamas menuntut kesepakatan yang mengakhiri perang Israel dan memungkinkan penarikan pasukan Israel dari Gaza,” ucapnya.

Menurut sumber Palestina tersebut, Hamas masih mempelajari usulan pertukaran sandera Israel dengan tahanan Palestina yang disodorkan Tel Aviv. “Hamas belum memberikan tanggapan akhir. Kedua belah pihak hampir mencapai kesepakatan dalam beberapa hal, namun hal ini tidak berarti kita mencapai kesepakatan,” ujarnya dikutip dari laman Reuters.

Menurut statistik Israel, Hamas menculik sekitar 239 orang ketika mereka melakukan operasi infiltrasi ke Israel pada 7 Oktober 2023 lalu. Pada 24 November hingga 1 Desember 2023, Israel dan Hamas sempat memberlakukan gencatan senjata kemanusiaan. Kesepakatan itu tercapai berkat peran mediasi Qatar, Mesir, dan AS.

Selama periode gencatan senjata, kedua belah pihak melakukan pertukaran pembebasan tahanan dan sandera. Hamas membebaskan 105 sandera. Mereka terdiri dari 81 warga Israel dan sisanya adalah warga asing. Sebagai imbalan atas pembebasan para sandera, Israel membebaskan 240 tahanan Palestina.

Pada 9 Desember 2023 lalu, Israel mengatakan Hamas masih menahan 137 sandera di Gaza. Hamas sempat menyampaikan mereka telah kehilangan kontak dengan sejumlah sandera akibat agresi tanpa henti Israel ke Gaza. Hamas memperkirakan beberapa sandera telah terbunuh serangan Israel.

Saat ini pertempuran masih berlangsung di Gaza. Konfrontasi sengit berlangsung di Khan Younis, Jalur Gaza selatan. Sejauh ini sekitar 25.900 warga Gaza telah terbunuh akibat agresi Israel yang dimulai pada 7 Oktober 2023. Sementara korban luka melampaui 64 ribu orang.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement