Selasa 20 Feb 2024 09:43 WIB

Netanyahu Kembali Tolak Solusi Dua Negara

Jutaan warga Palestina, diperlakukan sebagai warga negara kelas dua di negaranya.

Rep: Lintar Satria/ Red: Setyanavidita livicansera
Riyad Al-Maliki, Menteri Luar Negeri Otoritas Nasional Palestina, tengah, memberikan pernyataan di luar Istana Perdamaian setelah mahkamah tertinggi PBB membuka sidang bersejarah, di Den Haag, Belanda, Senin, 19 Februari 2024. Menteri luar negeri Palestina menuduh Israel melakukan apartheid dan mendesak pengadilan tinggi PBB untuk menyatakan bahwa pendudukan Israel atas tanah yang dicari untuk negara Palestina adalah ilegal.
Foto: AP Photo/Peter Dejong
Riyad Al-Maliki, Menteri Luar Negeri Otoritas Nasional Palestina, tengah, memberikan pernyataan di luar Istana Perdamaian setelah mahkamah tertinggi PBB membuka sidang bersejarah, di Den Haag, Belanda, Senin, 19 Februari 2024. Menteri luar negeri Palestina menuduh Israel melakukan apartheid dan mendesak pengadilan tinggi PBB untuk menyatakan bahwa pendudukan Israel atas tanah yang dicari untuk negara Palestina adalah ilegal.

REPUBLIKA.CO.ID, YERUSALEM -- Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, mengatakan keberadaan Negara Palestina akan membahayakan eksistensi Israel. Ia mengatakan terdapat upaya internasional untuk memaksakan negara Palestina, seraya kembali menegaskan penolakannya pada solusi dua negara.

"Warga Israel, semua tahu saya adalah orang selama puluhan tahun memblokir pendirian negara Palestina yang akan membahayakan eksistensi kami," kata Netanyahu dalam unggahan di media sosial X seperti dikutip dari Aljazirah, Senin (19/2/2024).

Baca Juga

Netanyahu mengatakan Israel akan terus "menguasai penuh keamanan" di seluruh wilayah barat Sungai Yordan, termasuk Gaza. Sebelumnya, Netanyahu mengumumkan akan mengajukan legislasi untuk menolak solusi dua negara ke parlemen Israel, Knesset.

Hal ini disampaikan setelah pembukaan sidang dengar pendapat mengenai legalisasi penjajahan Israel di wilayah Palestina di Mahkamah Internasional (ICJ). Menteri Luar Negeri Palestina Riad Malki dan utusan Palestina untuk PBB Riyad Mansour, bersama dengan beberapa akademisi dan pakar hukum, mewakili Palestina pada sidang yang dimulai di Den Haag pada Senin dan akan berlangsung hingga 26 Februari 2024.

Sidang ini terpisah dari kasus genosida Israel di Gaza yang diajukan Afrika Selatan bulan lalu. Sidang Senin kemarin menentukan konsekuensi hukum penjajahan Israel di wilayah Palestina.  

Pada Desember 2022 Majelis Umum PBB meloloskan resolusi yang meminta ICJ memberikan nasihat hukum atau opini tak terikat atas 57 tahun penjajahan Israel di wilayah Palestina. Sebanyak 87 negara mendukungnya, 26 negara termasuk Amerika Serikat (AS) menolak.

"Saya berdiri di hadapan anda saat 2,3 juta rakyat Palestina di Gaza, setengah dari mereka adalah anak-anak, dikepung dan dibom, dibunuh dan menjadi catat, kelaparan dan terpaksa mengungsi," kata Maliki dalam argumen pembukaan di ICJ.

"Lebih dari 3,5 juta orang rakyat Palestina di Tepi Barat, termasuk Yerusalem Timur, merupakan subjek penjajahan di tanah mereka sendiri dan kekerasan rasialis yang memungkinkan itu terjadi," tambahnya.

Sementara 1,7 juta warga Palestina di Israel, Maliki melanjutkan, diperlakukan sebagai warga negara kelas dua, di tanah leluhur mereka, seiring dengan tujuh juta pengungsi Palestina yang terus ditolak haknya untuk kembali ke tanah dan rumah mereka. Israel merebut Tepi Barat, Yerusalem Timur, dan Jalur Gaza dalam perang Timur Tengah tahun 1967. Palestina menginginkan ketiga wilayah tersebut bagian dari negara mereka di masa depan.

Israel menganggap Tepi Barat sebagai wilayah yang disengketakan dan masa depannya harus diputuskan melalui negosiasi. Lembaga swadaya masyarakat Peace Now mengatakan Israel membangun 146 pemukiman ilegal di Tepi Barat yang dihuni lebih dari 500 ribu pemukim Yahudi.

Menurut kelompok pro-pemukim Yahudi itu lima tahun terakhir jumlah populasi Yahudi di pemukiman itu naik 15 persen. Israel juga menganeksasi Yerusalem timur dan menjadikan seluruh kota sebagai ibukotanya.

Sekitar 200 ribu warga Israel tinggal di permukiman yang dibangun di Yerusalem timur. Penduduk Palestina di kota tersebut menghadapi diskriminasi sistematis. Sehingga menyulitkan mereka untuk membangun rumah baru atau memperluas rumah yang sudah ada.

Komunitas internasional menganggap pemukiman tersebut ilegal. Dunia tidak mengakui aneksasi Israel atas Yerusalem timur, tempat suci paling sensitif di kota tersebut. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement