REPUBLIKA.CO.ID, BEIJING -- Juru Bicara Kementerian Luar Negeri China Wang Wenbin menyebut, lolosnya Rancangan Undang-undang (RUU) yang dapat melarang penggunaan media sosial TikTok di Amerika Serikat (AS) menunjukkan persaingan bisnis tidak sehat.
"RUU yang disahkan oleh DPR AS itu menunjukkan tindakan AS bertentangan dengan prinsip persaingan yang sehat dan aturan perdagangan internasional," kata Wang Wenbin saat menyampaikan keterangan kepada media di Beijing, China pada Kamis (14/3/2024).
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Amerika Serikat meloloskan rancangan undang-undang (RUU) untuk memblokir TikTok di negara itu melalui pemungutan suara dengan hasil 325 banding 65 pada Rabu (13/3/2024). Setelah diloloskan di DPR AS, RUU dengan nama "Perlindungan Orang Amerika dari Aplikasi yang Dikendalikan Musuh Asing" itu akan bergulir ke Senat AS.
DPR AS terdiri atas 435 anggota dari berbagai distrik yang bertugas untuk meloloskan RUU untuk disepakati Senat yang beranggotakan 100 orang kemudian dikirim ke Presiden AS Joe Biden agar ditandatangani dan berlaku sebagai undang-undang. "Jika apa yang disebut sebagai 'keamanan nasional' adalah upaya untuk menjatuhkan perusahaan-perusahaan kompetitif di negara lain, maka tidak akan ada keadilan yang bisa dibicarakan. Adalah logika perampok untuk mencoba segala cara untuk merampas semua hal baik yang mereka miliki dari orang lain," ungkap Wang Wenbin.
Sikap AS terhadap TikTok, menurut Wang Wengbin, menunjukkan kepada dunia apa yang disebut "aturan" dan "ketertiban" bagi AS adalah yang bermanfaat bagi AS sendiri. Wang Wenbin juga menyatakan bahwa Pemerintah China memberikan perlindungan privasi dan keamanan data.
"Kami tidak pernah meminta dan tidak akan pernah meminta perusahaan atau individu untuk mengumpulkan atau memberikan data di negara lain kepada Pemerintah China dengan melanggar hukum setempat," tegas Wang Wenbin.
Menurut Wang, meski AS tidak pernah menemukan bukti bahwa TikTok mengancam keamanan nasionalnya, tapi negara itu tetap menggunakan kekuasaannya dan menyalahgunakan istilah keamanan nasional sebagai alasan untuk menekan TikTok.
"Kami juga menyambut berbagai 'platform' dan layanan asing ke pasar China dengan syarat mereka mematuhi hukum dan peraturan China. Hal ini sangat berbeda dengan sikap AS atas TikTok yang jelas-jelas merupakan tindakan 'bullying' dan logika perampok," ungkap Wang Wenbin.
Berdasarkan RUU itu, perusahaan pemilik Tiktok, ByteDance, punya waktu enam bulan untuk menjual sebagian sahamnya kepada pihak di luar China, tapi bila tidak bisa melakukannya, maka kios aplikasi yang dioperasikan oleh Apple, Google dan layanan lain secara resmi tidak boleh menawarkan TikTok atau menyediakan layanan "hosting web" untuk TikTok.
RUU itu juga memberikan wewenang kepada presiden untuk menetapkan aplikasi lain sebagai ancaman keamanan nasional jika aplikasi tersebut berada di bawah kendali negara yang dianggap bermusuhan dengan AS. CEO TikTok Shou Zi Chew sudah berada di Washington mencoba menghentikan RUU tersebut.
Pihak TikTok mengataka, rancangan undang-undang ini tidak konstitusional dan berpotensi dapat mengganggu keberlangsungan para kreator konten dan pelaku bisnis yang bertumpu kepada media sosial tersebut. Perusahaan itu juga menyangkal adanya hubungan dengan Pemerintah China dan telah merestrukturisasi perusahaan agar data pengguna AS tetap berada di negara tersebut dengan pengawasan independen.
Sejumlah politisi AS menganggap TikTok sebagai ancaman bagi keamanan nasional karena dimiliki oleh ByteDance, perusahaan yang berbasis di China sehingga khawatir data penggunanya akan diberikan kepada Pemerintah China.
Pengguna TikTok di AS sendiri saat ini telah mencapai 170 juta orang. RUU soal TikTok itu bahkan didukung baik oleh Partai Demokrat maupun Partai Republik.