REPUBLIKA.CO.ID, ANKARA -- Sejumlah negara Eropa pada Senin (18/3/2024) mengecam pelaksanaan pemilihan presiden Rusia di daerah Ukraina yang diduduki negara tersebut sebagai bentuk tindakan pelanggaran kedaulatan.
"Prancis mengecam Rusia yang melaksanakan apa yang mereka sebut 'pemilu' di wilayah Ukraina yang diduduki Rusia, yakni Republik Otonom Krimea, Kota Sevastopol, dan juga sebagian daerah Donetsk, Luhansk, Zaporizhzhia, dan Kherson," demikian pernyataan Kementerian Luar Negeri Prancis.
Krimea dan Sevastopol diduduki Rusia sejak 2014, dan empat kawasan Ukraina lainnya dicaplok Rusia secara ilegal pada September 2022 setelah negara tersebut melancarkan serangannya ke Ukraina pada Februari di tahun yang sama. Sebagian besar anggota-anggota komunitas internasional tidak mengakui aneksasi ilegal tersebut.
"Pelaksanaan ilegal 'pemilu' di daerah Ukraina yang diduduki Rusia tersebut merupakan bentuk pelanggaran terhadap hukum internasional dan Piagam PBB," ucap Kemlu Prancis.
Prancis menegaskan tidak akan mengakui baik pelaksanaan pemilu tersebut maupun hasilnya. Selain itu, Prancis juga mengecam kurangnya demokrasi dan keberagaman calon presiden, serta keengganan Rusia mengundang pengamat asing dalam pilpresnya.
"Calon-calon yang menentang keberlanjutan perang di Ukraina tidak diizinkan ikut serta dalam pemilu sehingga mengurangi tingkat pluralisme (calon)," demikian Kemlu Prancis.
Senada, Menteri Luar Negeri Inggris David Cameron mengecam pelaksanaan pilpres Rusia di daerah Ukraina yang diduduki, sebagai pelanggaran kedaulatan Ukraina yang bertentangan dengan Piagam PBB. Cameron juga mengecam pengekangan yang terjadi di bawah kepemimpinan Presiden Vladimir Putin yang berupaya "membungkam oposisi terhadap perang di Ukraina yang ilegal".
Ia turut mengkritik kurangnya keberagaman calon di pilpres tersebut karena hanya diikuti oleh tiga calon lain selain Putin. Jerman juga mengkritik pilpres Rusia dan menyebut pemilu tersebut pada dasarnya "tidak bebas maupun adil".
Juru bicara pemerintah Jerman Christiane Hoffmann mengatakan, Kanselir Olaf Scholz tidak akan menyampaikan ucapan selamat kepada Putin yang memenangi pemilu itu. "Kami menganggap apa yang disebut 'pemilu' di Rusia yang digelar pekan lalu tidak bebas serta tidak adil," ucap Hoffmann.
Ia mengatakan, pemilu tersebut tidak demokratis karena tidak ada calon yang dinilai benar-benar mewakili pihak oposisi. Juru bicara juga mengatakan pihaknya mengecam pelaksanaan pilpres Rusia di daerah Ukraina yang diduduki negara itu.
"Tentu saja kami tidak akan mengakui hasilnya karena hanya Ukraina yang berhak mengadakan pemilu di daerah tersebut," tutur Hoffmann. "Demikianlah pandangan kami terkait apa yang disebut pemilu itu, dan karena itulah kanselir tidak akan mengucapkan selamat kepada Putin," katanya menambahkan.
Vladimir Putin dipastikan terpilih kembali sebagai Presiden Rusia setelah mendapat 87,32 persen suara dari 99,75 persen surat suara yang sudah dihitung penyelenggara pemilu Rusia.