REPUBLIKA.CO.ID, SEOUL -- Kementerian Luar Negeri Korea Selatan pada Sabtu (6/4/2024) mengatakan, menteri luar negeri Korea Selatan telah membahas mekanisme pemantauan baru terhadap potensi ancaman Korea Utara dengan Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO). Pembicaraan tersebut berlangsung antara Menteri Luar Negeri Cho Tae-yul dan Sekretaris Jenderal NATO Jens Stoltenberg, ketika Cho mengunjungi Brussels untuk pertemuan para menteri luar negeri NATO awal pekan ini.
Dalam pertemuan tersebut, Cho menyampaikan pemerintah bekerja sama dengan negara-negara sahabat untuk menyusun mekanisme pemantauan baru terhadap Korea Utara setelah Dewan Keamanan PBB gagal memperpanjang mandat panel ahli memantau penegakan sanksi terhadap Korea Utara.
Cho juga menyerukan kerja sama NATO ketika ia menjelaskan upaya diplomatik pemerintah yang sedang berlangsung untuk mengadakan pertemuan majelis umum PBB, guna mengecam Rusia karena memveto perpanjangan pengawasan panel ahli tersebut.
Sebagai tanggapan, Stoltenberg menyetujui perlunya upaya bersama oleh komunitas internasional terhadap kerja sama militer antara Korea Utara dan Rusia. Ia juga menyatakan dukungan berkelanjutan terhadap upaya Korea Selatan untuk membangun perdamaian berkelanjutan di Semenanjung Korea.
Tak hanya itu, Kementerian Luar Negeri Korea Selatan menuturkan, Cho dan Stoltenberg turut membahas kerja sama bilateral di berbagai bidang seperti keamanan siber dan industri pertahanan. Sebelumnya, Dewan Keamanan PBB (DK PBB) gagal mengadopsi resolusi baru untuk memperpanjang mandat panel ahli yang bertugas memantau penegakan sanksi tahunan terhadap Korea Utara.
Hasil pemungutan suara di dewan yang beranggotakan 15 orang yang berlangsung pada Kamis (28/3/2024) di Washington itu terdiri dari 13 negara memberikan suara mendukung resolusi, Rusia menggunakan hak veto, dan China abstain. Lantaran Rusia yang menggunakan hak veto, maka mandat tersebut gagal diperpanjang satu tahun lagi, padahal mandat panel akan berakhir pada 30 April.
Kegagalan tersebut belum pernah terjadi sebelumnya yang berpotensi pada pelemahan upaya global untuk mengekang ancaman nuklir dan rudal Pyongyang.