REPUBLIKA.CO.ID, NORTH CAROLINA -- Pihak berwenang Amerika Serikat (AS) mengatakan, empat penegak hukum tewas tertembak dan empat lainnya terluka dalam baku tembak di rumah di Charlotte, North Carolina. Baku tembak terjadi saat para petugas menjalankan surat perintah penangkapan terhadap seorang terpidana.
Orang itu melepaskan tembakan ke para petugas saat mereka tiba di rumahnya. Departemen Kepolisian Charlotte-Mecklenburg mengatakan terpidana itu tewas tertembak dalam baku tembak dan dua tersangka lainnya berhasil ditangkap.
Gedung Putih mengatakan, Presiden AS Joe Biden sudah diberi pengarahan mengenai peristiwa itu dan sudah berbicara dengan Gubernur North Carolina, Roy Cooper. Dalam konferensi pers Kepala Kepolisian Charlotte-Mecklenburg Johnny Jennings mengatakan tiga petugas yang tewas merupakan anggota Gugus Tugas Marshal AS yang terdiri atas beberapa lembaga penegak hukum.
Petugas keempat merupakan anggota kepolisian Charlotte-Mecklenburg. Jennings mengidentifikasinya sebagai Joshua Eyer yang sudah bergabung dengan Departemen Kepolisian Charlotte-Mecklenburg selama enam tahun. Dalam pernyataannya, Departemen Kehakiman mengatakan satu dari empat petugas yang tewas merupakan deputi Marshal AS.
"Hari ini merupakan hari tragis bagi Kota Charlotte dan bagi profesi penegak hukum. Hari ini kami kehilangan pahlawan yang berupaya menjaga masyarakat kami tetap aman," kata Jennings, Selasa (30/4/2024).
Petugas Gugus Tugas Marshal AS tewas saat melaksanakan surat perintah penangkapan kepemilikan senjata seorang terpidana. Jennings mengatakan terpidana itu melepas tembakan saat petugas tiba di kediamannya. Petugas membalas tembakan dan terpidana tewas di halaman depan rumahnya.
Petugas kemudian melepas tembakan ke dalam rumah. Setelah terjadi kebuntuan, tim SWAT masuk ke dalam rumah tersebut dan menangkap dua orang di dalamnya. Jennings mengatakan diyakini salah satu dari mereka melepaskan tembakan ke petugas.
Merespons baku tembak itu, Biden menyerukan tindakan tambahan untuk mengatasi kekerasan senjata api di AS. "Para pemimpin di Kongres perlu melangkah lebih jauh agar kita melarang senjata serbu dan magasin berkapasitas besar, mewajibkan penyimpanan senjata yang aman, dan mengesahkan pemeriksaan latar belakang universal serta undang-undang red flag nasional," kata Biden dalam pernyataannya.
Dikutip dari situs Gedung Putih, Undang-undang ERPO atau "red flag" umumnya menciptakan proses perdata bagi penegak hukum dan sering kali anggota keluarga untuk meminta pengadilan mengeluarkan surat perintah yang melarang seseorang membeli dan memiliki senjata api untuk sementara waktu karena dapat membahayakan diri mereka sendiri atau orang lain.
Undang-undang tersebut memiliki perlindungan proses hukum yang memastikan hak-hak orang dihormati, tetapi juga memungkinkan cara konkret untuk melakukan intervensi.