Selasa 30 Apr 2024 15:55 WIB

KBRI Beijing Minta Warga Waspadai Pengantin Pesanan

Modus tersebut muncul antara lain karena sulitnya pria di China mendapatkan pasangan.

Ilustrasi Istri Pesanan di China
Foto: Pixabay
Ilustrasi Istri Pesanan di China

REPUBLIKA.CO.ID, BEIJING -- Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) Beijing meminta agar warga negara Indonesia mewaspadai kasus penipuan dengan modus pengantin pesanan (mail order bride) yang ditemukan di China.

"Para pelaku menjanjikan perempuan WNI untuk menikah dengan warga China dengan sejumlah uang mas kawin berkisar Rp 20 juta. Perempuan WNI juga dijanjikan calon suaminya berstatus ekonomi dan sosial yang bagus dan tinggal di rumah besar, namun faktanya secara umum pria warga China yang menikah dengan WNI bekerja sebagai petani, buruh kasar, bahkan tidak bekerja sama sekali dan tinggal di daerah perkebunan atau pegunungan yang jauh dari kota besar," kata Koordinator Fungsi Protokol dan Konsuler KBRI Beijing Widya Airlangga di Beijing, Senin (29/4/2024).

Baca Juga

Menurut Airlangga, modus tersebut muncul antara lain karena sulitnya pria di China mendapatkan perempuan sesama warga China sebagai istri sebagai dampak dari kebijakan "one child policy" pada dekade lalu. Selain itu, secara budaya, calon suami warga China juga perlu membayar biaya yang lebih mahal jika ingin menikah dengan perempuan yang juga warga negara China.

"Terdapat campur tangan sindikat agen perjodohan di China yang bekerja sama dengan sindikat di Indonesia untuk mencari calon korban di sejumlah kota di Indonesia," ungkap Airlangga. Umumnya, ia melanjutkan, calon korban berasal dari kalangan berpendidikan menengah-rendah yang mudah diiming-imingi uang mas kawin dan kesejahteraan keluarga di Indonesia.

Korban sebagian besar berasal dari provinsi Kalimantan Barat (Singkawang, Mempawah, Sambas dan kota-kota lain di Kalbar). Namun, dalam beberapa tahun terakhir juga menyebar ke provinsi lain antara lain Jakarta, Banten dan Jawa Barat.

"Misalnya perempuan WNI dijanjikan akan dapat mengirimkan uang kepada keluarganya secara rutin dan bila tidak betah dapat kembali ke Indonesia dengan mudah," tambah Airlangga. Agar dapat menikahi perempuan WNI, pihak mempelai pria China juga kerap membayar uang dalam jumlah yang jauh lebih besar dari uang mas kawin kepada agen perjodohan untuk dicarikan istri dari Indonesia.

"Masalahnya praktik perjodohan dengan menggunakan agen perjodohan, merupakan praktik yang lazim di China, sehingga menyulitkan pihak KBRI untuk mengejar unsur pidana bila terjadi dugaan Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO)," kata Airlangga.

Airlangga menyebut modus penipuan dalam kasus pengantin pesanan dengan tujuan eksploitasi tersebut dapat mengarah pada TPPO. Meski penentuan kasus pengantin pesanan sebagai TPPO perlu dilihat unsur-unsur pidananya sesuai dengan Undang-undang No 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan TPPO.

"Persoalan lain adalah sering perempuan WNI dan pria China tidak bisa berkomunikasi karena beda bahasa, beda budaya, beda kebiasaan, dan karena kondisi itulah maka rentan terjadi cek-cok hingga kekerasan dalam rumah tangga (KDRT)," ungkap Airlangga.

Sementara pihak berwenang di China, baik pemerintah pusat dan daerah melihat kasus tersebut bukan sebagai kasus TPPO dan hanya merupakan perkawinan lintas negara biasa. "Mereka juga memandang bila ada pertengkaran di rumah tangga sebagai masalah suami-istri semata karena perempuan WNI yang telah menikah secara resmi tanpa paksaan dengan pria China sesuai dengan ketentuan hukum China, jadi pertengkaran yang terjadi diarahkan untuk diselesaikan oleh suami-isteri dan keluarga," jelas Airlangga.

Di samping itu, pihak agen perjodohan juga kerap mengawasi dan mengancam baik pihak suami dan keluarga maupun istri dan keluarganya, agar tidak melaporkan adanya dugaan kekerasan dalam rumah tangga. Supaya, sindikat mereka sulit terdeteksi dan tidak terjangkau kasus pidana.

"Namun KBRI Beijing tentu merespon setiap laporan pengaduan dari perempuan WNI atau keluarga perempuan WNI yang menjadi korban dugaan penipuan bermodus pengantin pesanan dan melakukan pendampingan terhadap para korban sesuai dengan hukum setempat yang berlaku. Setiap pengaduan selalu dikoordinasikan dengan pihak berwenang setempat untuk membantu mencari solusi," kata Airlangga.

Untuk tindakan pencegahan, KBRI Beijing melakukan wawancara kepada perempuan WNI yang akan mengajukan legalisasi dokumen Surat Keterangan Belum Menikah (SKBM) sebagai syarat pernikahan lintas negara. "Saat wawancara itu tidak jarang kami menyampaikan kepada perempuan WNI untuk tidak melangsungkan perkawinan bila ada indikasi mereka merupakan pengantin pesanan, dan akan menjadi masalah di kemudian hari. Namun semua kembali kepada perempuan WNI karena KBRI Beijing tidak dapat melarang atau menahan perempuan WNI yang tetap berkeinginan melangsungkan pernikahan," ungkap Airlangga.

Kasus pengantin pesanan mencapai puncaknya pada 2019 saat KBRI Beijing menampung belasan korban dari provinsi Henan di "shelter" KBRI Beijing. Berdasarkan catatan KBRI Beijing, pada periode 2020-2022 tren pelaporan kasus menunjukkan penurunan berkaitan dengan penutupan perbatasan akibat pandemi Covid-19.

Namun sepanjang 2023, KBRI Beijing mencatatkan 95 WNI yang mendaftarkan pernikahannya dengan WN China. KBRI Beijing juga mengeluarkan sebanyak 119 Surat Keterangan Belum Menikah (SKBM) sebagai syarat pernikahan lintas negara.

Sementara pada periode 1 Januari - 29 April 2024, KBRI Beijing telah mencatatkan 43 pernikahan WNI dengan WN China dan 41 SKBM.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement