Jumat 17 May 2024 08:23 WIB

Xi Jinping dan Putin Umumkan Kerja Sama Era Baru

Pada Februari 2022 lalu Beijing dan Moskow mendeklarasikan kemitraan "tanpa batas".

Rep: Lintar Satria/ Red: Gita Amanda
Presiden Cina Xi Jinping, kanan, dan Presiden Rusia Vladimir Putin berjabat tangan sebelum pembicaraan di Beijing, Tiongkok, pada Kamis, 16 Mei 2024.
Foto: Sergei Bobylev via AP
Presiden Cina Xi Jinping, kanan, dan Presiden Rusia Vladimir Putin berjabat tangan sebelum pembicaraan di Beijing, Tiongkok, pada Kamis, 16 Mei 2024.

REPUBLIKA.CO.ID, BEIJING -- Presiden Cina Xi Jinping dan Presiden Vladimir Putin menjanjikan kemitraan "era baru" dua rival terkuat Amerika Serikat (AS). Xi menyambut Putin di karpet merah di luar Aula Besar Rakyat di Beijing.

Mereka disambut barisan Tentara Pembebas Rakyat, tembakan penghormatan 21 senjata dan anak-anak yang mengibarkan bendera Cina dan Rusia di Tiananmen Square. Pada Februari 2022 lalu Beijing dan Moskow mendeklarasikan kemitraan "tanpa batas" saat Putin berkunjung ke Beijing. Tepat beberapa hari sebelum ia mengerahkan puluhan ribu pasukan ke Ukraina.

Baca Juga

Pada Kamis (16/5/2024), Xi dan Putin menandatangani pernyataan bersama mengenai "era baru" yang menegaskan perlawanan terhadap AS pada isu-isu keamanan dan berbagi pandangan tentang semua hal mulai dari Taiwan, Ukraina hingga Korea Utara sampai kerja sama teknologi nuklir tujuan damai dan keuangan.

"Hari ini hubungan Cina-Rusia diperkuat, dan kedua belah pihak harus bergembira dan memeliharanya," kata Xi pada Putin. "Cina bersedia untuk bersama-sama meraih pembangunan dan peremajaan perspektif negara-negara kami dan bekerja sama untuk menegakan keadilan di dunia," tambahnya, dilansir laman Reuters.

Putin dan Xi berbagi pandangan yang melihat Barat sebagai dekaden dan kemunduran. Sementara Cina menantang supremasi AS dalam semua bidang mulai dari komputer kuantum dan biologi sintetis sampai spionase dan kekuatan militer.

Xi dan Putin yakin dominasi AS setelah berakhirnya Perang Dingin yang ditandai ambruknya Uni Soviet pada tahun 1991 dan kolonialisme Eropa di Cina selama berabad-abad sudah berakhir. AS menganggap Cina sebagai kompetitor terbesarnya dan Rusia sebagai negara paling mengancam. Sementara Presiden AS Joe Biden berpendapat abad ini akan ditentukan pada persaingan eksistensial antara demokrasi dan otoritarianisme.

Washington menilai Cina dan Rusia negara otoriter yang menekan kebebasan berbicara, mengendalikan media dan pengadilan di dalam negeri. Biden menyebut Xi sebagai "diktator" dan Putin sebagai "pembunuh." Beijing dan Moskow memprotes pernyataan Biden tersebut.

Kunjungan Putin ke Cina dilakukan beberapa hari setelah kunjungan Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken ke Beijing untuk mengungkapkan kekhawatirannya atas apa yang ia sebut dukungan Cina pada militer Rusia.

Kunjungan Blinken ke Cina tampaknya gagal mencegah Xi memperdalam hubungan dengan Putin. Putin menjadikan Cina sebagai negara pertama yang ia kunjungi setelah kembali dilantik sebagai presiden sebagai pesan ke pada dunia mengenai prioritas dan kuatnya hubungan pribadi dengan Xi.

Dalam pernyataan bersama dua negara menggambarkan upaya memperdalam hubungan strategis dan berbicara secara spesifik bagaimana kerja sama sektor pertahanan mereka meningkatkan keamanan regional dan global serta rencana meningkatkan hubungan militer.

Dalam pernyataan tersebut Beijing dan Moskow juga mengkritik AS. "Amerika Serikat masih berpikir dengan cara Perang Dingin dan dipandu oleh logika konfrontasi antar blok, menempatkan keamanan 'kelompok sempit' di atas keamanan dan stabilitas regional, yang menciptakan ancaman keamanan pada semua negara di kawasan," kata pernyataan tersebut.

"AS harus meninggalkan perilaku ini," tambah Cina dan Rusia.

Pernyataan tersebut juga mengecam inisiatif untuk menyita aset dan properti negara asing. Merujuk langkah Barat untuk mengambil profit dari aset-aset Rusia yang dibekukan atau aset mereka sendiri untuk membantu Ukraina. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement