Kamis 25 Jun 2015 21:36 WIB

Milisi Asing ISIS Kini Jadi Target Buruan

Red:
 Salah seorang warga Australia, Abdullah Elmir asal Sydney, yang diketahui bergabung dengan ISIS.
Foto: abc news
Salah seorang warga Australia, Abdullah Elmir asal Sydney, yang diketahui bergabung dengan ISIS.

REPUBLIKA.CO.ID, MELBOURNE -- Para milisi asing dari negara Barat yang bergabung dengan kelompok teroris ISIS di Timur Tengah kini menjadi target buruan dengan hadiah 12 ribu dolar (sekitar Rp 120 juta) per kepala. Hadiah tersebut ditawarkan oleh salah satu faksi terkuat kelompok Syiah Kataib Hezbollah.

Tawaran Kataib Hezbollah tersebut dikemukakan juru bicaranya, Jafar al-Husseini, saat diwawancarai ABC pekan ini. "Kami siapkan 12 ribu dolar untuk orang Barat termasuk dari Australia yang bergabung dengan ISIS," katanya baru-baru ini.

Sementara untuk para milisi asing dari negara lain di luar negara-negara Barat, faksi yang didukung Iran ini menawarkan jumlah uang yang lebih sedikit. 

Kataib Hezbollah merupakan milisi terdepan yang menjadi andalan Pemerintah Irak dalam menghadapi milisi ISIS. 

Amerika Serikat memasukkan Kataib Hezbollah sebagai kelompok teroris.

Menurut Jafar al-Husseini, pihaknya menangkap dan menginterogasi ratusan milisi asing ISIS. Informasi yang diperoleh antara lain dibagi ke pihak intelijen Australia.

"Sebab banyak anggota ISIS berasal dari Australia serta dari negara lainnya. Milisi asal Australia itu memperkuat ISIS di front timur dan barat," katanya.

Meskipun mendapat dukungan dari Iran, informasi intelijen yang diperoleh Kataib Hezbollah diserahkan langsung kepada pihak berwenang Irak.

"Kami menginterogasi banyak milisi ISIS dan melaporkannya secara langsung kepada pejabat Irak," katanya.

Al-Husseini mengatakan milisi asal negara-negara Barat merupakan bagian dari konspirasi hubungan antara kelompok teroris ISIS dengan intelijen negara-negara Barat tersebut.

"Kami percaya milisi asal negar Barat itu membantu intelijen mereka dari lapangan. Mereka adalah penghubung ISIS dengan dunia luar, seperti Amerika, yang merupakan otak di balik semua ini." katanya.

 

Disclaimer: Berita ini merupakan kerja sama Republika.co.id dengan ABC News (Australian Broadcasting Corporation). Hal yang terkait dengan tulisan, foto, grafis, video, dan keseluruhan isi berita menjadi tanggung jawab ABC News (Australian Broadcasting Corporation).
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement