Senin 08 Jan 2018 10:19 WIB

Gerilyawan Rohingya: Tak Ada Pilihan Selain Melawan Myanmar

Pengungsi Muslim Rohingya melintasi sungai Naf di perbatasan Myanmar-Bangladesh, untuk menyelematkan diri mereka dari genosida militer Myanmar. (foto file)
Foto: AP/Bernat Armangue
Pengungsi Muslim Rohingya melintasi sungai Naf di perbatasan Myanmar-Bangladesh, untuk menyelematkan diri mereka dari genosida militer Myanmar. (foto file)

REPUBLIKA.CO.ID, YANGON -- Para gerilyawan Rohingya mengatakan pada Ahad (7/1) mereka tak memiliki pilihan selain memerangi apa yang mereka sebut terorisme yang disponsori negara Myanmar untuk membela komunitas Rohingya. Mereka menuntut Rohingya diajak berkonsultasi mengenai semua keputusan yang memengaruhi masa depan mereka.

Myanmar menyebut tentara Penyelamatan Rohingya Arakan (ARSA) melancarkan serangan-serangan terhadap pasukan keamanan Myanmar pada 25 Agustus hingga memicu operasi-operasi kontrapemberontakan di negara bagian Rakhine di bagian utara Myanmar yang mayoritas dihuni Muslim.

Operasi oleh pasukan keamanan mengarah kepada kekerasan yang meluas dan pembakaran serta eksodus sebanyak 650 ribu orang desa Rohingya ke Bangladesh. Perserikatan Bangsa-Bangsa mengutuk kampanye militer Myanmar itu dan menyebutnya sebagai pembersihan etnis. Myanmar yang mayoritas penduduknya penganut Buddha membantah hal itu.

Tetapi sejak serangan-serangan Agustus, kelompok pemberontak kecil itu telah melancarkan relatif sedikit serangan hingga Jumat, ketika para pejuangnya menghadang sebuah truk militer myanmar, melukai beberapa anggota pasukan keamanan.

Dalam foto file bulan September 2017, seorang pria Muslim Rohingya menggendong anak bayinya yang tewas akibat perahu yang mereka tumpangi tenggelam, ketika menyelematkan diri dari genosida militer Myanmar. (AP/Dar Yasin)

"ARSA tak punya pilihan lain selain bertempur melawan terorisme yang disponsori negara Myanmar terhadap penduduk Rohingya demi maksud membela, menyelamatkan dan melindungi komunitas Rohingya. Rakyat Rohingya harus diajak konsultasi dalam semua pembuatan keputusan yang memengaruhi kebutuhan humaniter mereka dan masa depan politik mereka," demikian kelompok tersebut dalam sebuah pernyataan yang ditandatangani oleh pemimpinnya Ata Ullah dan disiarkan melalui Twitter.

ARSA mengaku bertanggung jawab atas pengadangan Jumat, tapi tidak memberikan perincian mengenai bentrokan. Seorang juru bicara pemerintah Myanmar menolak memberikan komentar segera dengan menyatakan dia masih harus membaca pernyataan tersebut. Seorang juru bicara militer menolak membuat komentar segera tentang situasi keamanan di negara bagian Rakhine.

Kawasan itu terbatas bagi wartawan untuk melakukan liputan. Pihak berwenang mengatakan sebelumnya serangan-serangan oleh pemberontak akan dijawab dengan kekuatan dan mereka mengesampingkan perundingan dengan "para teroris". ARSA menolak pengaitan kelompoknya dengan grup-grup militan Islamis dan menyatakan bertempur untuk mengakhiri operasi terhadap orang-orang Rohingya.

Rohingya tidak diberikan kewarganegaraan, kebebasan bergerak, akses ke layanan-layanan seperti perawatan kesehatan. Myanmar menganggap mereka imigran ilegal dari Bangladesh.

 

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement