Rabu 02 Sep 2015 18:30 WIB

Australia Waspadai Ketegangan di Laut Cina Selatan

Salah satu sudut Laut Cina Selatan.
Foto: Rti.org.tw
Salah satu sudut Laut Cina Selatan.

REPUBLIKA.CO.ID, NEW DELHI -- Australia pada Rabu (2/9) menyatakan waspada terhadap peningkatan persaingan strategis di Laut Cina Selatan mengingat risiko kesalahan militer di kawasan itu dapat menimbulkan konsekuensi yang besar.

Agresivitas Cina di Laut Cina Selatan baru-baru ini memang memunculkan ketegangan militer dan diplomatik antara pihak-pihak yang bersengketa, termasuk Vietnam, Filipina, Brunei, dan Malaysia.

Menteri Pertahanan Australia Kevin Andrews mengaku negaranya tidak akan memihak dalam sengketa wilayah di kawasan tetangga. Tetapi di sisi lain, dia juga menegaskan kekhawatiran terbesar Australia terletak pada pembangunan fasilitas militer oleh Cina di wilayah yang status kepemilikannya belum jelas.

"Kami berpendapat pembangunan landasan militer di atas terumbu karang (yang kepemilikannya masih disengketakan) tidak akan meningkatkan perdamaian dan keamanan di kawasan. Bahaya terbesar di wilayah ini adalah kesalahan perhitungan," kata Andrews saat mengunjungi India.

Dalam 20 bulan terakhir, Cina telah mereklamasi wilayah yang luasnya 17 kali lipat lebih besar dibanding yang dilakukan negara-negara lain selama 40 tahun terakhir, demikian data dari Pentagon.

Di satu sisi, Australia adalah sekutu Amerika Serikat, yaitu negara yang mendukung Filipina dalam kasus sengketa wilayah di Laut Cina Selatan. Namun di sisi lain, Beijing juga merupakan rekan dagang terbesar bagi Canberra. Menurut Andrews, adalah sangat penting bagi Australia untuk mempertahankan hubungan baik di atas.

"Kami belum mengambil sikap mengenai klaim-klaim berseberangan di wilayah Laut Cina Selatan," kata Andrews saat berbicara di Institute for Defence Studies and Analysis di New Delhi.

Andrew mengatakan persoalan ini harus diselesaikan dengan cara yang damai. Dia menambahkan pihaknya mendesak agar Perhimpunan Negara-Negara Asia Tenggara (ASEAN) segera menyetujui sistem berbasis aturan untuk penyelesaian sengketa.

Pada 2030, Australia memperkirakan kawasan Indo-Pasifik akan menjadi rute perdagangan paling ramai, baik melalui laut maupun udara. Selain itu, dua pertiga pengapalan minyak dunia dan sepertiga kargo besar akan melewati wilayah ini.

"Kami akan terus mempertahankan hak internasional kami untuk melewati baik dari udara maupun laut di Laut Cina Selatan. Kami ingin terus menjadi sahabat dan rekan dagang besar dengan Cina sebagaimana dengan negara-negara lain di kawasan yang sama. Tapi kami juga mendesak agar semua negara itu untuk memperjelas niat strategis mereka," kata Andrews.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement