REPUBLIKA.CO.ID, MANILA -- Seorang mantan polisi yang mengaku menjadi bagian dari "Satuan Maut Davao" mengatakan polisi Filipina melakukan pembunuhan di kota Davao atas perintah Wali Kota Rodrigo Duterte. Duterte saat ini menjadi presiden.
Arturo Lascanas, pensiunan polisi Davao, pada Senin (20/2) menuturkan ia membunuh penyiar radio yang mengkritik Duterte atas perintah sopir dan ajudan wali kota itu. Kemudian, Duterte memberikan uang kepada polisi pelaku pembunuhan tersebut.
Duterte berulang kali menyanggah tuduhan terlibat dalam tindakan main hakim sendiri, termasuk saat menjabat presiden atau selama 22 tahun menjabat wali kota Davao hingga akhir 2015. Ia dan polisi menolak pernyataan aka keberadaan pasukan maut di Davao itu dengan menjelaskan hal tersebut hanyalah rekaan.
"Semua pembunuhan kami lakukan di Kota Davao, baik kami kubur maupun kami buang ke laut. Tindakan itu dibayar oleh Wali Kota Rody Duterte. Paling sering 20 ribu (peso), tapi kadang-kadang 50 ribu peso tergantung status target. Kadang-kadang juga 100 ribu peso," kata mantan polisi itu dalam jumpa pers di gedung Senat Filipina di Manila.
Sekretaris Komunikasi Kepresidenan Martin Ardanar dalam wawancara dengan CNN Filipina menggambarkan sebagian dari pengakuan Lascanas itu sebagai drama politik yang berkepanjangan dan diupayakan pembunuhan karakter Duterte sebagai dalang oleh pengritik kepemimpinan Duterte.
Pernyataan Lascanas berbeda dengan yang dia sampaikan dalam dengar pendapat dengan Senat pada Oktober tahun lalu atas tuduhan pembunuhan pelaku penyalahgunaan narkoba yang tidak berdasarkan hukum. Pada saat itu, Lascanas menyanggah adanya pasukan berani mati di Davao tersebut.
Pernyataannya pada Senin itu mirip dengan pengakuan diri seorang pembunuh bayaran Edgar Matobato yang memberikan kesaksian sebelum dengar pendapat di Senat pada September yang secara pribadi menyaksikan Duterte menembak mati seorang pria dan memerintahkan kepolisian membunuh para tersangka pelaku kejahatan.
Kelompok pemerhati hak asasi manusia mendokumentasikan sekitar 1.400 dugaan pembunuhan di Kota Davao sejak awal era 1990-an dan para pengamat menyatakan peperangan berdarah terhadap narkoba yang dilancarkan oleh Duterte sejak menjabat presiden pada tujuh bulan lalu memicu berulangnya metode serupa.
Lebih dari 7.700 orang tewas dalam operasi antinarkoba di pelosok negeri itu, sekitar 2.500 tewas dalam baku tembak dengan polisi selama penggerebekan yang dianggap kontroversial tersebut. Beberapa sisanya tewas dalam proses penyelidikan dan dikaitkan dengan pembunuhan main hakim sendiri oleh pihak berwajib, geng narkotika yang melindungi jejaknya, dan pembunuhan lainnya yang tidak terkait operasi itu.
Beberapa pegiat juga menyebutkan yang lain tewas di luar jalur hukum.