Kamis 17 Aug 2017 19:12 WIB

Presiden Korsel: Tidak akan Ada Perang Antara Korut dan AS

Rep: Puti Almas/ Red: Bilal Ramadhan
Presiden Korea Selatan, Moon Jae-in
Foto: AP Photo/Lee Jin-man
Presiden Korea Selatan, Moon Jae-in

REPUBLIKA.CO.ID, SEOUL -- Presiden Korea Selatan (Korsel) Moon Jae-in akan memulai upaya diplomasi dalam meredakan ketegangan antara Korea Utara (Korut) dan Amerika Serikat (AS) yang berdampak bagi Semenanjung Korea. Ia mengatakan tengah mempertimbangkan untuk mengirimkan seorang utusan khusus ke Korut, sebagai awal dari perundingan, Kamis (17/8).

Ketegangan antara Korut dan AS telah terjadi dalam beberapa waktu terakhir. Ancaman program nuklir Korut sebelumnya diperingatkan oleh Presiden AS Donald Trump dapat dibalas dengan tindakan keras berupa aksi militer.

Baru-baru ini, ia juga mengatakan hendak membalas negara yang dipimpin oleh Kim Jong-un itu dengan melepaskan api dan kemarahan. Selama ini, Korut mengatakan pengembangan program nuklir merupakan alat pertahanan utama.

Namun, sejumlah negara di kawasan Semenanjung Korea, khususnya Korsel dan Jepang juga merasa khawatir karena menjadi ancaman utama serangan rudal dan senjata berbahaya lainnya.

"Kami akan bekerjasama untuk membangun negara agar tidak lagi terjadi perang yang membuat banyak orang kehilangan segala-galanya dan saya yakin ini tidak akan lagi terjadi di Semenanjung Korea untuk kedua kalinya," ujar Moon Jae-in, dilansir The Independent, Kamis (17/8).

Korsel dan Korut secara teknis juga masih berperang setelah perang Korea berakhir dengan perjanjian gencatan senjata dan bukan berupa perdamaian pada 1950-1953. Setelah masa itu, Korut kerap melontarkan ancaman terhadap Korsel dan sekutu utama negara itu, AS dengan program nuklir mereka.

Selama masa kampanye, Moon Jae-in sering mengatakan bahwa bila ia terpilih menjadi Presiden Korsel, maka ia akan mencoba menjalin hubungan baik dengan Korut. Pria berusia 64 tahun itu tidak setuju dengan pendekatan garis keras yang dilakukan pemimpin Negeri Ginseng yang berasal dari kalangan konservatif selama hampir satu dekade terakhir.

Sejak terpilih menjadi Presiden Korsel secara resmi pada Mei lalu, ia juga berkali-kali telah menekankan pentingnya mewujudkan perdamaian di Semenanjung Korea adalah dengan membuka dialog dan perundingan. Ia menilai bahwa langkah itu menjadi salah satu strategi yang lebih baik dibandingkan perang maupun tindakan keras lainnya.

"Sebuah dialog antara Korsel dan Korut harus dilanjutkan. Banyak usaha yang dperlukan untuk mengatasi satu dekade hubungan kedua negara yang terputus dan melanjutkan kembali pembicaraan, memang ini perlu kesabaran," jelas Moon Jae-in.

Pada 5 Agustus lalu, Dewan Keamanan PBB telah mengeluarkan sebuah resolusi untuk memberlakukan sanksi ekonomi terbaru terhadap Korut. Dengan sanksi ini, pendapatan ekpor yang dimiliki negara terisolasi itu dapat berkurang hingga 3 miliar dolar AS.

Resolusi yang dirancang oleh AS, sebagai salah satu anggota tetap dewan itu membuat tidak diizinkannya ekspor sejumlah barang tambang diantaranya batu bara, besi, dan bijih besi. Kemudian, makanan laut juga tidak diperbolehkan untuk diekspor dari Korut. Selain itu, jumlah pekerja dari negara yang dipimpin Kim Jong-un itu yang bekerja di luar negeri juga tidak dapat diperbanyak.

Meski resolusi terbaru dari PBB telah dikeluarkan, Korut menegaskan bahwa pihaknya akan terus mengembangkan program nuklir. Negara yang dipimpin Kim Jong-un itu juga tidak khawatir dengan adanya alat pencegah senjata nuklir yang dimiliki AS dan bertujuan mengancam mereka. Termasuk dengan rencana untuk meluncurkan rudal ke wilayah Guam pada pertengahan bulan ini.

Korut mengatakan setidaknya ada empat rudal yang hendak ditembakkan ke wilayah yang menjadi salah satu basis militer dan rumah bagi 6.000 personil tentara AS. Langkah dari negara terisolasi itu secara khusus bertujuan membalas Negeri Paman Sam atas pernyataan Trump yang memberi peringatan kepada mereka dengan mengatakan api dan amarah.

Meski demikian, pada 15 Agustus lalu Kim Jong-un mengatakan bahwa Korut terlebih dahulu hendak mengawasi tindakan AS, sebelum meluncurkan rudal untuk menyerang seluruh Guam. Pemimpin muda itu menjelaskan pertimbangan ini didasarkan adanya tujuan mencegah bentrokan militer yang berbahaya.

Ancaman Korut untuk menyerang Guam sebelumnya telah menimbulkan kekhawatiran banyak orang di Korsel. Tak sedikit warga di Negeri Ginseng itu yang meminta agar AS memikirkan kembali konsekuensi atas sejumlah sanksi ekonomi yang diberikan terhadap Korut dan berdampak pada keamanan Semenanjung Korea.

Sebelumnya, AS bekerjasama dengan Cina yang merupakan sekutu sekaligus mitra dagang dan pemberi bantuan ekonomi utama untuk Korut. Salah satunya dengan cara menekan bank-bank dari Negeri Tirai Bambu yang menjalankan bisnis dengan Korut.

Pada awal pekan ini, Menteri Luar Negeri Cina Wang Yi melakukan percakapan telepon dengan Menteri Luar Negeri Rusia Sergey Lavrov. Kedua negara berkomitmen untuk meredakan ketegangan yang terjadi di Semenanjung Korea.

"Tugas terpenting kami saat ini adalah agar AS dan Korut saling menahan diri dalam berbagai cara, termasuk perkataan," ujar pernyataan Kementerian Luar Negeri Cina.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement