Senin 02 Oct 2017 14:36 WIB

Larang Cadar, Aktivis: Kriminalisasi Muslim Perempuan

Rep: Rahma Sulistya/ Red: Agus Yulianto
Seorang muslimah dipaksa membuka cadar oleh petugas kepolisian Austria (Ilustrasi)
Foto: Daily Mail
Seorang muslimah dipaksa membuka cadar oleh petugas kepolisian Austria (Ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, VIENNA -- Sekitar 100 aktivis Muslim perempuan dan pemuka agama Islam melakukan demo di Austria, mengutuk pelarangan menggunakan cadar. Aturan tersebut dibuat Austria mengikuti negara di Eropa lainnya, seperti Perancis, Belgia, Belanda, dan Bulgaria.

Larangan menggunakan cadar menimbulkan kontroversi dan diniliai sebagai sebuah kecaman kebebasan beragama. Aturan yang dikenal dengan 'Larangan Burqa' itu, sudah diberlakukan sebelum Pemilu pada 15 Oktober, dan ini mencerminkan xenofobia yang bisa menguntungkan Partai Kebebasan.

Di antara sembilan juta penduduk Austria, 700 ribu di antaranya Muslim, dan 100-150 perempuan Muslim mengenakan cadar, atau sekitar 0,002 persen. Pakaian yang dikenakan Muslim bercadar itu menutupi seluruh tubuh dan wajah kecuali mata. Dan apabila masih dipakai, pelanggar bisa dikenakan denda hingga 180 euro.

Pemerintah Austria mengatakan, aturan tersebut bertujuan untuk melindungi nilai-nilai dan konsep masyarakat bebas Austria. Aturan itupun sudah dirapatkan berkali-kali dengan berbagai pertimbangan.

Pejabat telah dengan hati-hati memasarkan undang-undang tersebut. 'Larangan Penutupan Wajah' untuk membuat Muslim di Austria bisa bersikap netral terhadap agamanya, juga untuk membatasi penggunaan masker medis, topeng pesta, dan syal di depan umum.

Namun, para aktivis dan pemuka agama mengecam hukum tersebut sebagai 'kontraproduktif' dan 'Islamofobia'. Salah seorang aktivis HAM dan juru bicara Otoritas Agama Islam Austria Carla Amina Baghajati--dia mewakili institusi publik Islam di Austria--mengatakan, aturan tersebut mengancam konsep keterbukaan masyarakat.

"Pemerintah mengklaim bahwa mereka 'membebaskan perempuan-perempuan ini' dan lalu mereka mengambil tindakan dengan alasan untuk mengembalikan identitas Austria. Tapi sikap ini justru munafik, karena gagasan masyarakat terbuka adalah setiap orang memiliki kebebasan untuk bertindak dan berpakaian sesuka hati, selama tidak ada orang lain yang dirugikan," ungkap Baghajati kepada Al Jazeera, Senin (2/10).

"Para perempuan ini sedang dikriminalisasi. Semua orang berpikir mereka adalah korban, tapi pemerintah tidak bisa merendahkan mereka dan mengatakan bahwa mereka tidak ingin dibebaskan. Karena sesungguhnya mereka sudah bebas dan memilih untuk memakai jilbab," kata Baghajati lagi.

Larangan memakai cadar disetujui pada Mei 2017 sebagai bagian dari proposal yang ditujukan untuk melawan bangkitnya Partai Kebebasan, yang mendekati pemilihan presiden Austria Januari 2017 lalu. Dalam proposal itu, Austria juga melarang penyebaran Alquran dan mewajibkan semua pengungsi dan imigran untuk berpartisipasi dalam program 'integrasi' untuk belajar bahasa Jerman dan 'etika Austria'.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement