Senin 11 Dec 2017 11:32 WIB

Jumpa Pers Macron-Netanyahu Dipenuhi Perbedaan Pendapat

Rep: Fira Nursya'bani/ Red: Ani Nursalikah
Presiden Prancis Emmanuel Macron (kiri) berbicara dengan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu di Elysee Palace di Paris, Prancis, Ahad (10/12). Macron mengutarakan penolakannya atas pengakuan Yerusalem sebagai ibu kota Israel oleh AS.
Foto: Philippe Wojazer/Pool via AP
Presiden Prancis Emmanuel Macron (kiri) berbicara dengan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu di Elysee Palace di Paris, Prancis, Ahad (10/12). Macron mengutarakan penolakannya atas pengakuan Yerusalem sebagai ibu kota Israel oleh AS.

REPUBLIKA.CO.ID, PARIS -- Presiden Prancis Emmanuel Macron mengungkapkan ketidaksetujuannya terhadap pengakuan AS atas Yerusalem sebagai ibu kota Israel. Dalam sebuah konferensi pers dengan Perdana Menteri Benjamin Netanyahu, ia mendesak pemimpin Israel itu menunjukkan keberanian dalam memajukan perundingan perdamaian.

Dalam penampilan bersama yang dipenuhi oleh perbedaan pendapat itu, Macron mengatakan ia telah menginformasikan kepada Netanyahu akan penentangannya terhadap keputusan Presiden AS Donald Trump.

 

"Pernyataan ini tidak akan membantu memperkuat keamanan, terutama keamanan warga Palestina dan Israel," kata Macron setelah melakukan pembicaraan dengan Netanyahu selama tiga jam.

 

Pada Sabtu (9/12), Macron telah berjanji akan meyakinkan Trump menarik kembali keputusannya. Namun Netanyahu tentu tidak dapat menerima penolakan Prancis.

 

Netanyahu tetap bersikeras Yerusalem adalah ibu kota Israel, seperti Paris yang menjadi ibu kota Prancis. Menurutnya, semakin cepat orang-orang Palestina menerima fakta Yerusalem adalah ibu kota Israel, semakin cepat pula keduanya bergerak menuju perdamaian.

 

"Di mana lagi ibu kota Israel selain Yerusalem? Yerusalem belum menjadi ibu kota siapa pun. Paris adalah ibu kota Prancis. Yerusalem adalah ibu kota Israel. Sudah menjadi ibu kota Israel selama 3.000 tahun. Sudah menjadi ibu kota Negara Israel selama 70 tahun," ujar Netanyahu dalam konferensi pers tersebut, dikutip Time of Israel.

 

"Kami menghargai pilihan Anda. Dan saya tahu itu, sebagai teman, Anda menghormati kami. Dan juga penting untuk perdamaian. Saya berpikir perdamaian harus dibangun di atas dasar kebenaran, atas fakta masa lalu dan masa kini. Inilah satu-satunya cara agar kita bisa membangun masa depan yang pluralistik dan sukses," kata dia kepada Macron.

 

Macron mengatakan kepada Netanyahu, dia menganggap pengakuan Trump terhadap Yerusalem bertentangan dengan hukum internasional. Ia meminta Netanyahu mendorong kemajuan perundingan perdamaian, meskipun dia mengatakan dia tidak ingin memprakarsai perdamaian, seperti pendahulunya Francois Hollande.

 

Dia mengatakan, fokus utamanya adalah untuk mencegah timbulnya kekerasan. "Saya mendesak perdana menteri  menunjukkan keberanian dalam berurusan dengan Palestina untuk membawa kita keluar dari jalan buntu," kata Macron.

 

Menanggapi Macron, Netanyahu menekankan hal yang paling penting dalam kesepakatan perdamaian adalah kedua belah pihak menyadari yang lain memiliki hak untuk eksis. "Inilah yang menahan perdamaian antara Israel-Palestina," jelasnya.

 

"Inilah tawaran saya, untuk duduk dan menegosiasikan perdamaian. Saya telah berulang kali mengundang Presiden Abbas, dan saya melakukannya lagi di Elysee. Itu adalah sikap damai. Tidak ada yang lebih sederhana," kata Netanyahu.

 

Netanyahu juga berbicara tentang rencana perdamaian regional luar dan dalam, yang akan membangun normalisasi hubungan dengan negara-negara Arab dan membuka jalan bagi perdamaian dengan orang-orang Palestina. Secara umum, idenya telah banyak ditolak oleh dunia Arab.

 

 

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement