Selasa 16 Jan 2018 22:16 WIB

Anak-Anak Muslim di India Jadi Sasaran Perundungan

Rep: Umi Nur Fadhilah/ Red: Karta Raharja Ucu
Ilustrasi Stop Bullying
Foto: Foto : MgRol_92
Ilustrasi Stop Bullying

REPUBLIKA.CO.ID, Sekolah dan taman bermain bisa menjadi tempat berbahaya, di mana anak terisolasi atau terintimidasi. Anak sering menggunakan perbedaan penampilan, warna kulit, kebiasaan makan, misogin, homofobia, dan kasta untuk menimbulkan rasa sakit pada teman sebayanya.

Dilansir dari BBC News, menurut sebuah buku baru di India, anak-anak Muslim menjadi sasaran di sekolah-sekolah mewah karena alasan identitas religius. Hal itu dampak berkembangnya Islamofobia di India dan seluruh dunia.

Penulis Nazia Erum mengadakan sejumlah penelitian terhadap 145 keluarga di 12 kota dan 100 anak-anak yang belajar di 25 sekolah elite di Delhi untuk bukunya Mothering a Muslim. Ia mengatakan anak-anak Muslim berusia lima tahun menjadi sasaran intimidasi.

"Apa yang saya temukan selama penelitian saya mengejutkan, saya tidak berpikir hal itu terjadi di sekolah-sekolah elite ini," kata Erum.

Ia menanyakan sejumlah hal pada narasumber. Salah satunya, Ketika anak usia lima dan enam tahun mengatakan mereka disebut orang Pakistan atau teroris, bagaimana tanggapan Anda terhadap hal itu? Dan bagaimana Anda mengaku ke pihak sekolah?

Erum mengatakan, banyak narasumber mengatakan pertanyaan tersebut sebagai candaan untuk membuat orang lain tertawa. Namun, Erum menganggap hal itu tidak masuk akal dan tampak seperti olok-olok yang tidak berbahaya, tapi sebenarnya tidak.

"Ini benar-benar menggertak dan menyiksa," ujar dia.

Sementara anak-anak Muslim yang diwawancarai memberitahu tentang beberapa pertanyaan dan komentar yang sering dilontarkan pada mereka, seperti:

Apakah kamu Muslim? Aku benci Muslim.

Apakah orang tuamu membuat bom di rumah?

Apakah ayahmu bagian dari Taliban?

Dia seorang Pakistan.

Dia seorang teroris.

Jangan kencing dia, dia akan mengebom anda.

Sejak diluncurkan, buku ini memulai jadi bahan pembicaraan seputar kebencian dan prasangka religius di sekolah. Pada akhir pekan lalu, taggar #MotheringAMuslim menjadi bahan pembicaraan terpopuler di media sosial. Banyak orang bertukar pendapat dan berdiskusi di lini Twitter.

Hampir 80 persen dari 1,3 miliar populasi India adalah Hindu, Muslim membentuk 14,2 persen. Menurut dia, kedua komunitas tersebut hidup dengan damai di beberapa daerah.

Namun kebencian mengatasnamakan agama selalu sukses memanaskan hubungan kedua komunitas sejak 1947, ketika India dan Pakistan berada di bawah satu negara. Perpisahan itu menimbulkan perang berdarah yang membuat setengah juta hingga satu juta orang tewas akibat isu agama.

Erum mengatakan isu pemberontakan anti-Muslim telah digunakan sejak 1990-an. Tepatnya, setelah pembongkaran Masjid Babri oleh kelompok garis keras Hindu dan kerusuhan Hindu-Muslim yang terjadi kemudian. Dalam beberapa tahun terakhir, nada dan intensitas kedua kelompok telah berubah.

Erum menyadari hal itu sejak melahirkan anak pertamanya pada 2014. "Saat saya menggendong Myra putri saya, untuk pertama kalinya saya takut," kata dia. Ia khawatir apabila memberi nama anaknya menggunakan nama Arab, maka orang mudah mengenalinya sebagai Muslim.

Partai Nasionalis Hindu Bharatiya Janata menjalankan kampanye pemilihan yang sangat terpolarisasi. Ada peningkatan sentimen nasionalis Hindu dan beberapa saluran televisi menyajikan narasi yang menyimpang. Narasi itu melukis Muslim sebagai penjajah, antinasional dan ancaman terhadap keamanan nasional.

"Sejak 2014, identitas saya sebagai seorang Muslim ada di wajah saya, dan semua identitas saya yang lain menjadi sekunder. Karena adanya rasa takut yang teraba di antara seluruh masyarakat," kata Erum.

Sejak saat itu, garis patahan terus melebar. Argumen dan debat polarisasi di televisi telah bercokol yang disebarkan dari orang dewasa ke anak-anak.

"Jadi di taman bermain, sekolah, ruang kelas, dan bus sekolah, seorang anak Muslim dipilih, didorong ke sebuah sudut, disebut Pakistan, ISIS, Bagdadi dan teroris," ujar dia.

Salah satu cerita Erum tentang anak-anak, menjadi wajah suram. Seorang gadis berusia lima tahun ketakutan, "Muslim akan datang dan mereka akan membunuh kita". Ironisnya, dia tidak tahu dirinya sendiri adalah seorang Muslim.

Seorang anak laki-laki berusia 10 tahun merasa malu dan marah setelah serangan teroris di Eropa. Seorang teman sekelas bertanya kepadanya dengan keras, Apa yang telah Anda lakukan?

Seorang anak laki-laki berusia 17 tahun disebut teroris. Ibu anak itu menghubungi anak yang menyebut anaknya teroris. Namun, ibu itu mendapat jawaban, Tapi anakmu memanggil anak saya gemuk.

Diganggu karena agama seseorang di sekolah tidak terbatas pada India, hal itu terjadi di seluruh dunia. Di AS, itu digambarkan sebagai "Efek Trump" setelah laporan kampanye kepresidenannya menghasilkan tingkat ketakutan dan kecemasan di antara anak-anak berkulit putih dan ketegangan ras dan etnis yang meradang di kelas.

Jadi, meningkatnya intimidasi anak-anak Muslim di sekolah-sekolah India dapat digambarkan sebagai Efek Modi? "Semua politisi menggunakan nada yang sama, termasuk partai Islam," kata Erum.

Ia mengatakan sekolah menolak adanya intimidasi agama terjadi di tempat mereka. Namun yang mengkhawatirkan adalah bentuk penyensoran diri telah merayap ke dalam kehidupan mereka. Banyak orang tua Muslim mulai memberi tahu anak-anak untuk selalu berperilaku terbaik, jangan berdebat, jangan merasa pintar bermain komputer yang melibatkan bom atau senjata api, jangan memakai pakaian tradisional saat pergi keluar.

Erum menganggap fenomena itu sebagai tanda peringatan, orang tua dan sekolah harus melawan perundungan komunal. "Langkah pertama adalah menerima ada masalah, dan kemudian ada pembicaraan tentang hal itu. Whataboutery tidak akan membantu," kata dia. Ia khawatir apabila tak ada penanganan terhadap perundungan anak Muslim, maka ada dampak penyiksaan sama rata.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement