Kamis 18 Jan 2018 16:09 WIB

ACT Sebut Repatriasi Pengungsi Rohingya Gagasan Paling Gila

Rep: Rahmat Fajar/ Red: Gita Amanda
Tim SOS Rohingya ACT menyalurkan lebih dari 2000 paket bantuan pangan dan logistik untuk ribuan pengungsi Rohingya di Teknaf, Bangladesh.
Foto: dok. ACT
Tim SOS Rohingya ACT menyalurkan lebih dari 2000 paket bantuan pangan dan logistik untuk ribuan pengungsi Rohingya di Teknaf, Bangladesh.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Vice President Aksi Cepat Tanggap (ACT), Ibnu Khajar, mengatakan kesepakatan repatriasi antara Myanmar dengan Bangladesh terkait pengungsi Rohingya merupakan gagasan paling "gila". Sebab infrastruktur mereka sudah dibakar semua, sehingga para pengungsi Rohingya tidak mempunyai tempat untuk kembali kedesanya.

Rencananya, menurut Ibnu, mereka akan ditempatkan di sebuah desa di Mundu. Oleh karena itu, Ibnu menilai para pengungsi Rohingya akan kembali menempati tempat pengungsian bukan pulang ke desanya.

"Tapi yang mengerikan Mundu ini tidak bisa diakses oleh lembaga kemanusiaan atau negara lain di luar Myanmar," ujar Ibnu kepada Republika.co.id, Kamis (18/1).

Di Mundu tersebut dikhawatirkan akan terjadi final action penghabisan etnis Rohingya. Penghabisan tersebut akan mudah dilakukan karena akses yang tertutup bagi dunia luar termasuk media. ACT, kata Ibnu, sudah bertemu dengan berbagai pihak yang konsen dalam isu Rohingya.

Dari pertemuan tersebut, ACT menyimpulkan bahwa gagasan repatriasi merupakan ide yang tidak masuk akal. Ibnu berpendapat repatriasi dinilai tidak akan berjalan cepat. Ia memperkirakan proses pemulangan akan berlangsung bertahun-tahun karena jumlah pengungsi yang sangat besar. Selain itu belum ada sejarah yang menyebutkan proses repatriasi berjalan mulus.

Kendala yang akan dihadapi dalam proses repatriasi ini, menurut Ibnu ketidaksiapan pengungsi untuk kembali ke Myanmar. Hal tersebut karena secara regulasi di Myanmar etnis Rohingya belum diakui sebagai warga negara Myanmar.

"Kalau regulasi ini (Rohingya bukan etnis Myanmar) belum dicabut  maka sampai kapanpun tidak akan diakui karena regulasinya menolak. Jadi inilah mereka tidak akan pernah diakui hak-hak sebagai warga negara. Kalau haknya saja tidak diakui, (bagaimana) Myanmar mau menerima mereka?" kata Ibnu.

Secara kemananan, lanjut Ibnu, tidak ada jaminan dari pemerintah Myanmar untuk keselamatan mereka. Sebab, daerah Mundu yang akan dijadikan kamp penampungan tidak bisa diakses oleh pihak luar manapun termasuk tim pencari fakta Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).

Ibnu menilai kesepakatan repatriasi ini karena Bangladesh tidak ingin berlama-lama menampung etnis Rohingya di negaranya. Sementara Myanmar diduga hanya menggunakan kesepakatan ini untuk memperbaiki citra buruknya di dunia Internasional.

Untuk itu, bantuan kemanusiaan harus tetap dilakukan oleh lembaga-lembaga kemanusiaan kepada pengungsi Rohingya. Bantuan pangan, kesehatan dan pendidikan harus tetap digulirkan guna meringankan penderitaan para pengungsi.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement