Jumat 28 Jan 2011 15:45 WIB

Nasib Pencari Suaka di Jerman Mirip di 'Guantanamo'?

Salah satu pengungsi, Alef dari Jalalabad, Afghanistan. Ia akhirnya menerima surat deportasi
Foto: DER SPIEGEL
Salah satu pengungsi, Alef dari Jalalabad, Afghanistan. Ia akhirnya menerima surat deportasi

REPUBLIKA.CO.ID,  HORST, JERMAN - Para pencari suaka datang ke Jerman dengan harapan menemukan kebebasan. Alih-alih mereka berakhir dalam kamp detensi di antah berantah dan tak ada yang bisa diharapkan selain menunggu dideportasi. Namun sistem tersebut diadopsi di banyak tempat di Jerman.

Tujuh kali sehari, sebuah bus putih dan hijau berhenti di jalanan utama dekat sebuah desa bernama Horst di negara bagian Jerman utara, Mecklenburg-Western Pomerania. Dengan latar belakang hutan belantara, bus menurunkan pendatang baru ke dalam negara, beberapa wanita dari  Somalia, bersama lelaki dari Macedonia, anak-anak dari Serbia, beberapa orang tua, tanpa bekal apa pun selain sisir dalam dompet.

Mereka telah menempuh perjalanan jauh dengan kaki, truk dan perahu, juga dengan kereta api dan pesawat. Mereka telah meninggalkan perang, bom dan tahanan. Dalam banyak kasus, alasan mereka mengungsi adalah melarikan diri dari kelaparan.

Ali Reza Samadi, dari Afghanistan, keluar dari bus di pemberhentian ini setelah bepergian selam dua tahun. Jamshid dari Iran berdiri di sana, memandang kamp. Dan bagi pemuda dari Ghana, Jerman yang akhirnya ia capai dengan menginjakkan kaki bukan yang ia harapkan.

Mereka meyakini bahwa di dalam negara dengan keberlimpahan, dengan kesejahtaraannya, keamanan dan penghormatannya terhadap hak asasi, mereka akan menemukan tempat hidup dengan mudah. Alih-alih mereka berakhir di sebuah kamp pengungsian di Jalan National Highway 5, Mecklenburg-Western Pomerania. Rumah baru mereka berada di bawah komando Wolf-Christoph Trzeba, seorang lelaki yang dalam benak mereka telah mendirikan pagar antara mereka dan surga.

Urusan Pelik

Trzeba, 50, dalam ruangan di Kantor Federal untuk Migrasi dan Pengungsi berkata, "Ini adalah bisnis yang sangat pelik," ujarnya.

Trzeba, lelaki tinggi langsing adalah direktur kamp pengungsian di Nostorf-Horst. Urusan yang ia bilang tadi berkaitan dengan perintah pusat, dengan 25 lebih kewarganegaraan yang ini menyesaki kampnya dan juga dengan kontrol dan deportasi.

Ia mengatakan, surat kabar telah banyak menulis tentang kamnya. Politisi juga banyak meninggung soal itu. Organisasi hak asasi pengungsi melakukan unjuk rasa diluar. Bahkan ia menuturkan berulang kali berkonfrontasi dengan kata-kata semacam "tidak manusiawi", "isolasi" dan "penjara."

Saat itu hujan menguyur kamp dan di halaman luar terlihat wanita muda Afghan mendorong bayinya di kereta sementara seorang pemuda Roma membungkuk mengenakan sandal. "Mereka datang ke sini, sehingga mereka harus menerima kondisi di sini," ujar Trzeba. Orang-orang dapat selalu berargumen bahwa setiap penghuni harus mendapat satu kamar dengan satu toilet, ujarnya, tapi dari mana?

Mirip 'Guantanamo'

Kamp Nostorf-Horst terselip di area hutan. Ia terletak di bekas barak tua angkatan darat Jerman Timur, dekat bekas perbatasan yang dulu menjadi Jerman Barat. Pada masa lalu, tentara yang bertugas melindungi salah satu Jerman dari Jerman lain akan berbaris melintas kawasan itu.

Kini para petugas di sini berpakain dalam setelan jas, seperti Trzeba. Perintah yang turun ke mereka adalah menjaga perbatasan antara kekayaan dan kesulitan, antara kesejahteraan dan kemiskinan. Tugas mereka adalah mengatur imigrasi dan memonitor orang-orang asing yang masuk ke Jerman, semua biasanya dari Afghanistan, Iran dan Kosovo.

Mereka adalah orang-orang seperti Ali Reza, penjahit asal Afghanistan, Pangerang Ghana berusia 22 tahun sekaligus penggemar berat Hamburg FC dan Jamshid asal Iran. Tugas Trzeba dan anak buahnya adalah memberi tempat kepada orang-orang itu, menginvestigasi cerita mereka dan mendeportasi. Sementara para penghuninya menamai kamp itu "Guantanamo".

Pagar kamp yang memotong area dari lansekap luar membuatnya terlihat mirip kawasan militer tertutup. Kamp tersebut kini ditempati oleh 450 orang. Para penghuninya tinggal dalam sebuah ruangan berukuran 16 meter persegi, empat orang untuk satu kamar. Setiap orang yang ingin keluar atau masuk harus melaporkan ke penjaga gerbang dan menyerahkan kartu identitasnya. Namun tak seorang pun boleh meninggakan distrik administratif di mana kamp tersebut berlokasi.

Trzeba duduk di kursinya. "Manusiawi", ujarnya. "Sungguh manusiawi."

Debat Publik

Polemik soal pencari suaka mencuat lagi dengan fakta terjadi peningkatan pengungsi sebesar 49,5 persen pada 2010. Debat publik yang muncul berkaitan dengan masalah seputar perumahan yang layak bagi pengungsi, ruang yang cukup, kualitas makanan dan apakah tahanan seharusnya memiliki lemari yang bisa dikunci.

Pertanyaan utama, seberapa lama orang-orang ini diharapkan tinggal di kamp-kamp dan apa yang harus dilakukan dengan orang-orang yang tidak diinginkan Jerman. Bila mereka dideportasi ke negara mana? Salah satu contoh, Menteri Dalam Negeri Jerman, Thomas de Maizière baru saja memutuskan bahwa pengungsi tak bisa lagi dikirim ke Yunni, karena prosedur di sana tidak sesuai dengan standar hak asasi manusia Jerman.

Ada dua pandangan yang juga bebenturan satu sama lain. Pertama dari kalangan pencari suaka yang berpendapat Jerman memiliki segalanya, keamanan, kesejahteraan, hak asasi--sehingga sudah seharusnya bermurah hati. Pandangan kedua, mereka yang berkata bahwa Jerman hanya dapat memelihara keamanan dan kesejahteraan bila hanya menerima orang-orang yang berguna bagi negara.

Pandangan itu akhirnya menghasilkan dua kesimpulan yang berlawanan pula. Apakah pencari suaka itu berharap terlalu banyak terhadap negara atau Jerman yang memperlakukan mereka terlampau keras.

sumber : der Spiegel
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement