REPUBLIKA.CO.ID, BANGKOK - Perdana Menteri Thailand, Kamis (23/2) mengatakan bahwa ia kemungkinan juga orang Inggris. Ia mengakui tudingan lawannya, yang mencoba membawanya ke Pengadilan Pidana Antarbangsa.
Tapi, Abhisit Vejjajiva, yang lahir di Inggris, mengatakan menganggap dirinya warga Thailand dan tidak ingin memanfaatkan kelebihan dari kewarganegaraan ganda.
"Sekarang, bila saya bepergian ke Inggris, saya diminta memiliki visa. Sudah jelas bahwa saya berniat mempertahankan kewarganegaraan Thailand. Apakah artinya saya memiliki kewarganegaraan ganda atau tidak, itu hanya permasalahan aturan," katanya menanggapi pertanyaan parlemen.
Menurut Badan Perbatasan Kantor Urusan Dalam Negeri Inggris, siapa pun terlahir di Inggris sebelum 1 Januari 1983 "hampir pasti warga Inggris".
Pengecualian dari aturan itu hanya bila orang tersebut lahir dari staf diplomatik dari misi luar negeri, yang memiliki kekebalan diplomatik, kata jejaring kantor tersebut.
Abhisit, keturunan keluarga berpengaruh, mengenyam pendidikan di perguruan tinggi elit Inggris, Eton College. Ia dilaporkan dikenal teman-temannya dengan panggilan "Mark Vejj".
Gerakan penentang pemerintah Thailand, Baju Merah, meminta Pengadilan Pidana Antarbangsa (ICC) menyelidiki kemungkinan kejahatan terhadap kemanusiaan di bawah kekuasaannya selama perselisihan mematikan di jalanan Bangkok pada tahun lalu.
Meski Thailand tidak mengesahkan Statuta Roma, yang membentuk ICC, Baju Merah berpendapat bahwa Abhisit dapat diminta bertanggung jawab oleh badan hukum itu bila ia terdaftar sebagai warga negara Inggris, yang menandatangani perjanjian tersebut.
Sekitar 90 orang tewas dalam perselisihan antara penentang dengan pasukan pengamanan selama dua bulan unjukrasa Baju Merah, yang berakhir pada Mei 2010 dengan pembubaran berdarah oleh tentara.