Rabu 19 Dec 2018 04:31 WIB

PCINU: Tempatkan Xinjiang Sebagai Urusan dalam Negeri Cina

PCINU menilai tak tepat jika menyebut Pemerintah Cina anti-Islam.

Warg aetnis Uighur dengan latar patung mendiang pemimpin China Mao Zedong di  Khasgar, Daerah Otonomi Xinjiang Uighur, China.
Foto: Thomas Peter/Reuters
Warg aetnis Uighur dengan latar patung mendiang pemimpin China Mao Zedong di Khasgar, Daerah Otonomi Xinjiang Uighur, China.

REPUBLIKA.CO.ID, BEIJING -- Pengurus Cabang Istimewa Nahdlatul Ulama (PCINU) Cina mengeluarkan pernyataan tertulis yang mendesak pemerintah Indonesia agar menempatkan persoalan di Provinsi Xinjiang sebagai urusan dalam negeri Cina. Kebijakan Xinjiang tak bisa dikaitkan dengan Islamofobia.

"Saya mengikuti berita-berita tentang persoalan Muslim di Xinjiang. Tetapi ada beberapa hal yang juga harus dipahami publik Indonesia," kata Rais Syuriah PCINU Tiongkok, Imron Rosyadi Hamid, dalam keterangan tertulisnya yang diterima Antara di Beijing, Selasa (18/12).

Ia menegaskan, persoalan Xinjiang tidak bisa dikaitkan dengan kebijakan anti-Islam karena yang dilakukan otoritas China adalah tindakan untuk mencegah gerakan  separatisme. Kalau pun ada dugaan terjadinya tindakan pelanggaran HAM di sana, maka tetap harus ditempatkan pada persoalan cara penanganan separatisme yang kurang tepat. "Bukan pada kesimpulan bahwa pemerintah Cina anti-Islam," ujarnya.

Baca juga, Amnesty International: Muslim Uighur Xinjiang Menderita.

Menurut dia, Indonesia juga memiliki sejarah kelam dalam hal penanganan gerakan separatisme seperti di Aceh dengan kebijakan Darurat Operasi Militer (DOM). Tetapi dunia internasional tetap memandang persoalan tersebut sebagai masalah dalam negeri Indonesia.

"Masyarakat juga perlu tahu bahwa konstitusi Cina menjamin kebebasan beragama, termasuk Islam," katanya menambahkan.

Kehidupan Muslim di Cina, di luar Provinsi Xinjiang, sejauh ini berjalan baik. bahkan pemerintah China juga membangun fasilitas bagi kepentingan Muslim seperti Hui Culture Park senilai 3,7 miliar dolar AS atau sekitar Rp51 triliun.

Ketua Umum PBNU Said Aqil Siroj dan beberapa pengurus NU lainnya juga pernah mengunjungi berbagai situs Islam di Cina, termasuk pondok pesantren dan madrasah.

Ia juga mengemukakan bahwa dalam Rencana Aksi Nasional Cina berkaitan pelaksanaan HAM tahun 2016-2020 terdapat juga paragraf tentang perbaikan pelayanan haji.

"Kebijakan Luar Negeri Indonesia sejak era Gus Dur (Abdurrahman Wahid), Megawati, SBY hingga Jokowi menempatkan Cina sebagai mitra penting dan strategis. Calon presiden Prabowo Subianto saat menghadiri peringatan berdirinya Republik Cina ke-69 di Jakarta juga menginginkan tetap dipeliharanya hubungan baik dengan Cina," kata Imron.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement