Senin 18 Feb 2019 16:44 WIB

Kebijakan Kelahiran Anak di Cina Masih Jadi Kontroversi

Pemimpin Cina ingin warga memiliki lebih banyak anak tetapi tak dilaksanakan birokrat

Rep: Rossi Handayani/ Red: Nur Aini
Bendera Cina.
Foto: ABC News
Bendera Cina.

REPUBLIKA.CO.ID, BEIJING -- Dalam nenghadapi krisis demografi dan masyarakat lanjut usia di masa depan, para pemimpin Cina berusaha keras membujuk pasangan di negaranya untuk memiliki lebih banyak anak. Akan tetapi, para birokrat tampaknya tidak menerima pesan itu. Mereka mendenda pasangan dalam kasus yang baru-baru ini dipublikasikan, karena memiliki anak ketiga yang menentang hukum.

Langkah itu telah memicu kemarahan publik. Orang-orang melampiaskan amarah mereka pada pejabat kontrol populasi yang haus akan pendapatan dan telah lama menganiaya pasangan karena melanggar "kebijakan satu anak", yang sekarang sudah dihilangkan.

Baca Juga

"Negara ini melakukan semua yang dapat dilakukan untuk mendorong kelahiran, tetapi pemerintah daerah membutuhkan uang, jadi kita berakhir dengan kegilaan semacam ini," kata seorang kolumnis dan komentator politik yang menulis dengan nama Lianpeng pada layanan microblogging Weibo di Cina.

"Tingkat kelahiran yang rendah membuat semua orang gelisah, namun pemerintah daerah hanya peduli tentang mengumpulkan dana," sebut jurnalis Jin Wei di akun Weibo-nya yang terverifikasi.

'The Wangs', pasangan yang menjadi kontroversi baru-baru ini, diperintahkan oleh otoritas lokal di provinsi Shandong untuk membayar denda yang dikenal sebagai "biaya pemeliharaan sosial" sebesar 64.626 yuan (Rp 134 juta) segera setelah kelahiran anak ketiga mereka pada Januari 2017. Setelah berbagai tenggat waktu datang dan pergi, seluruh tabungan keluarga sebesar 22.957 yuan (Rp 47 juta) dibekukan bulan lalu, dengan saldo masih jatuh tempo.

"Saya tidak tahu apa yang akan saya lakukan," kata suaminya, Wang Baohua, seperti dikutip oleh media lokal pekan lalu.

Situasi yang dihadapi pasangan ini berakar pada ketakutan puluhan tahun bahwa penduduk Cina akan melebihi stok sumber daya. Semangat Partai Komunis yang berkuasa ingin mengendalikan keputusan warga di sisi yang paling pribadi.

Sebelumnya peraturan keluarga berencana muncul pada 1970-an, dan pada 1980 “kebijakan satu anak” yang terkenal diberlakukan. Dengan mandat hukuman yang sering brutal bagi pelanggar mulai dari aborsi paksa dan sterilisasi hingga denda, serta penurunan pangkat di tempat kerja.

Setelah para pemimpin menyadari populasi yang menua dan menurunnya tenaga kerja yang mengancam melumpuhkan pembangunan masa depan negara itu pada 2016, kebijakan satu anak secara resmi diganti. Kebijakan itu diganti dengan kebijakan dua anak.

Biro Statistik Nasional menyatakan jumlah kelahiran baru pada 2018 turun menjadi 15,23 juta dalam total populasi 1.395 miliar. Dengan tingkat pertumbuhan 0,381 persen, dan kenaikan terendah sejak 1961, yang menghasilkan dua juta kelahiran lebih sedikit daripada 2017.

sumber : AP
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement