Senin 03 Sep 2018 14:51 WIB

Beritakan Rohingya Dibunuh, Wartawan Reuters Dihukum 7 Tahun

Dua wartawan Reuters dihukum dengan alasan melanggar UU rahasia negara.

Red: Nur Aini
Dua wartawan Reuters yang dipenjara pengadilan Myanmar, Wa Lone dan Kyaw Soe Oo
Foto: Radio Free Asia
Dua wartawan Reuters yang dipenjara pengadilan Myanmar, Wa Lone dan Kyaw Soe Oo

REPUBLIKA.CO.ID, YANGON -- Hakim Myanmar pada Senin (3/9) menyatakan dua wartawan Reuters bersalah karena dinilai melanggar hukum negara yang bersifat rahasia. Mereka menjatuhkan hukuman kepada wartawan tersebut tujuh tahun penjara. Hal itu dinilai ujian menuju demokrasi di negara Asia Tenggara itu.

Hakim distrik utara Yangon Ye Lwin menyatakan Wa Lone, 32 tahun, dan Kyaw Soe Oo, 28 tahun, melanggar Undang-Undang Rahasia Resmi masa penjajahan ketika mereka memperoleh dan mengumpulkan naskah rahasia. "Para terdakwa melanggar Undang-Undang Rahasia Resmi pasal 3.1.c dan dijatuhi hukuman tujuh tahun. Masa penahanan terdakwa sejak 12 Desember akan dipertimbangkan," kata hakim.

Pendukung kebebasan pers, Perserikatan Bangsa-Bangsa, Eropa Bersatu, Amerika Serikat, Kanada, dan Australia meminta pembebasan mereka.

"Hari ini adalah hari menyedihkan bagi Myanmar, wartawan Reuters Wa Lone dan Kyaw Soe Oo serta dan pers di mana pun," kata pernyataan pemimpin redaksi Reuters Stephen J Adler.

"Kami tidak akan menunggu sementara Wa Lone dan Kyaw Soe Oo menderita akibat ketidakadilan itu dan akan menilai bagaimana melanjutkannya dalam beberapa hari mendatang, termasuk apakah mencari pertolongan di ajang antarbangsa," katanya.

Wartawan itu mengatakan kepada pengadilan bahwa dua polisi menyerahkan naskah di rumah makan Yangon utara beberapa saat sebelum petugas lain menangkap mereka. Saksi polisi menyatakan rapat restoran itu untuk menjebak wartawan tersebut atau menghukum mereka atas berita tentang pembunuhan besar warga suku Rohingya.

"Saya tidak takut," kata Wa Lone sesudah amar itu, "Saya tidak melakukan kesalahan apa pun. Saya percaya pada keadilan, demokrasi dan kebebasan."

Putusan itu berarti Wa Lone dan Kyaw Soe Oo tetap akan ditahan. Keduanya memiliki putri kecil dan belum bertemu dengan keluarga mereka di luar kunjungan penjara dan persidangan hampir sembilan bulan. Kyaw Soe Oo memiliki putri berusia tiga tahun dan isteri Wa Lone, Pan Ei Mon, melahirkan anak pertama mereka pada bulan lalu.

Juru bicara pemerintah Myanmar, Zaw Htay, kebanyakan menolak menanggapi persidangan itu, dengan menyatakan pengadilan Myanmar mandiri dan perkara tersebut akan berlangsung sesuai dengan hukum. Amar itu ditunda sepekan karena Hakim Ye Lwin sakit.

Putusan itu keluar di tengah peningkatan tekanan terhadap pemerintah peraih Nobel Aung San Suu Kyi. Tekanan tersebut atas tindakan keras keamanan akibat serangan pemberontak dari suku kecil Rohingya terhadap pasukan keamanan pada Agustus 2017.

Lebih dari 700 ribu warga Rohingya, yang tidak memiliki kewarganegaraan, lari menyeberangi perbatasan Myanmar barat dengan Bangladesh, kata badan Perserikatan Bangsa-Bangsa. Puluhan wartawan dari badan media dalam negeri dan asing serta diplomat hadir di pengadilan itu untuk mendengarkan putusan tersebut.

Duta Besar Amerika Serikat Scot Marciel menyatakan sedih untuk kedua wartawan itu dan Myanmar. "Ini sangat mengganggu bagi semua yang berjuang di sini untuk kebebasan media. Saya pikir seseorang harus bertanya akankah ini menambah atau mengurangi kepercayaan masyarakat Myanmar terhadap peradilan mereka," kata Marciel kepada wartawan.

"Kami kecewa dengan keputusan pengadilan pada hari ini," kata pernyataan Koordinator Kependudukan dan Kemanusiaan Perserikatan Bangsa-Bangsa di Myanmar, Knut Ostby. "Perserikatan Bangsa-Bangsa senantiasa menyerukan pembebasan wartawan Reuters itu dan mendesak pihak berwenang menghormati hak mereka untuk mengejar keterangan dan kebebasan mengungkapkan pendapat."

Duta Besar Inggris Dan Chugg, yang berbicara atas nama pemerintahnya dan anggota Eropa Bersatu, menyatakan sangat kecewa pada putusan dalam perkara itu.

"Ini pukulan terhadap hukum," kata Chugg.

Wartawan Reuters itu ditangkap pada 12 Desember saat menguak pembunuhan 10 pria dan bocah laki-laki Rohingya serta pelanggaran lain, yang melibatkan tentara dan polisi di Inn Din, desa di negara bagian Rakhine. Myanmar membantah melakukan kekejaman seperti yang dituduhkan pengungsi terhadap pasukan keamanannya. Mereka menyatakan tindakan itu dilakukan sebagai gerakan sah menumpas pemberontakan Muslim. Tapi, tentara mengakui pembunuhan 10 pria dan bocah laki-laki Rohingya di Inn Din itu sesudah menangkap wartawan Reuters tersebut.

Kelompok pencari bukti, yang diamanatkan Perserikatan Bangsa-Bangsa, pada pekan lalu menyatakan tentara Myanmar melakukan pembunuhan besar dan pemerkosaan kelompok terhadap warga Rohingya. Tentara melakukan itu dengan "niat pemusnahan" dan menyerukan para jenderal utama dituntut. Myanmar menolak temuan itu.

Mahkamah Pidana Antarbangsa mempertimbangkan apakah memiliki jangkauan atas peristiwa di Rakhine itu. Sementara Amerika Serikat, Eropa Bersatu dan Kanada menghukum perwira tentara dan polisi Myanmar atas tindakan keras tersebut.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement