Kamis 18 Apr 2019 03:38 WIB

Partisipasi Pemilu di Korsel Naik Tiga Kali Lipat

Lima tahun lalu partisipasi pemilu di Korsel tak mencapai 10 persen.

Petugas memperlihatkan surat suara yang sah saat simulasi penghitungan suara di GOR Bulungan, Kebayoran Baru, Jakarta, Sabtu (6/4).
Foto: Republika/Putra M. Akbar
Petugas memperlihatkan surat suara yang sah saat simulasi penghitungan suara di GOR Bulungan, Kebayoran Baru, Jakarta, Sabtu (6/4).

REPUBLIKA.CO.ID, SEOUL -- Tingkat partisipasi pemilihan presiden Indonesia 2019 di Korea Selatan melonjak lebih hampir tiga kali lipat dibanding lima tahun sebelumnya. Dari sekitar 26 ribu warga negara Indonesia yang terdaftar sebagai pemilih, sebanyak 7.085 orang menggunakan hak pilihnya dalam pemilu presiden kali ini atau sekitar 27 persen.

Angka partisipasi ini jauh lebih baik dari pemilu tahun lima tahun lalu yang tidak sampai 10 persen. Padahal sebelumnya banyak pihak meragukan kinerja Panitia Pemilihan Luar Negeri (PPLN) Seoul karena banyaknya keluhan calon pemilih di laman resmi Facebook lembaga tersebut.

Baca Juga

Namun, angka partisipasi itu masih jauh lebih rendah dibanding partisipasi pemilu di Tanah Air, yang menurut beberapa lembaga hitung cepat mencapai 80 persen. Angkanya mencapai salah satu yang tertinggi dalam sejarah Indonesia pascareformasi.

Salah satu penyebab dari tingginya angka golongan putih tersebut adalah sulitnya melakukan pencoblosan. Seperti jauhnya tempat pemungutan suara dan surat suara tidak sampai sampai lewat pos.

Ketua PPLN Seoul, Huda Ulinuha, mengatakan bahwa pihaknya telah melakukan sosialisasi sejak setahun sebelum pemilihan umum dan mengimbau warga Indonesia di Korea Selatan untuk mendaftar sebagai pemilih. "Banyak surat suara lewat pos yang kembali kepada kami karena alamat yang diberikan tidak lengkap," kata Ulin, sambil menambahkan bahwa sebagian di antara mereka juga tidak membarui data kepindahan alamat di laman resmi PPLN.

Namun demikian, banyak di antara mereka yang tidak mendapatkan haknya karena dokumen yang tidak lengkap meski telah mendatangi tempat pemungutan suara yang letaknya berjam-jam dari domisili mereka.

Mia Rosmiati, salah satu petugas Kolompok Penyelenggara Pemungutan Suara Luar Negeri (KPPSLN) di Daegu, sekitar tiga jam perjalanan dari Seoul, mengaku harus menolak banyak warga Indonesia yang ingin mencoblos di TPS-nya. Alasannya WNI belum terdaftar menjadi pemilih dan tidak punya dokumen resmi.

"Sebetulnya saya sangat kasihan sama mereka yang sudah datang bersemangat mendatangi TPS dari tempat yang jauh. Tapi aturannya memang demikian, mereka tidak mempunyai dokumen lengkap dan tidak terdaftar sebagai pemilih dalam sistem," kata Mia.

Berbagai keluhan juga muncul di laman Facebook resmi PPLN Seoul. Banyak calon pemilih yang mengeluhkan hilangnya data, atau tempat pemungutan suara yang terlalu jauh dari domisili.

Untuk mengakomodasi mereka yang belum menggunakan hak pilih pada tanggal 14 April lalu, PPLN membuka kesempatan bagi para WNI untuk melakukan pencoblosan sebelum pukul 15.00 waktu setempat, tanggal 17 April.

Situasi perhitungan suara di KBRI Seoul nampak lancar. Sekitar 50-an petugas KPPSLN datang ke kantor KBRI dari berbagai daerah Korea Selatan, bersama pengawas, dan sejumlah saksi.

Salah satunya adalah Wahyono, pria asal Cirebon, yang saat ini bekerja di tambak ikan kakap di Tongyeong, wilayah selatan semenanjung Korea yang berjarak 328 kilometer dari Seoul. "Hari ini saya cuti bekerja untuk ikut membantu proses perhitungan suara," kata dia.

Secara umum, ada 13 tempat pemungutan suara yang tersebar kantung-kantung pekerja Indonesia di Korea Selatan seperti Ansan, Seoul, Busan dan Daegu. Selain itu, PPLN juga menyediakan layanan kotak suara keliling di tiga wilayah. Sebagian besar warga Indonesia di negara ini, sekitar 13 ribu orang, memilih metode pos.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement