Selasa 04 Oct 2016 00:59 WIB

Rakyat Kolombia Tolak Perjanjian Damai dengan FARC

Rep: Lida Puspaningtyas/ Red: Agung Sasongko
FARC
Foto: Colombianews
FARC

REPUBLIKA.CO.ID, BOGOTA -- Secara mencengangkan, layar lebar di tengah kota Bogota itu mengatakan 50,2 persen suara rakyat menolak perjanjian damai pemerintah Kolombia dengan FARC. Berdasarkan putusan, Senin (3/10), 49,8 persen menyatakan setuju.

Perjanjian damai yang ditandatangani pekan lalu ternyata bukan akhir. Rakyat Kolombia harus mensahkannya dalam referendum. Pada Ahad, sebanyak 13 juta penduduk datang ke tempat pemungutan suara untuk memilih 'ya' sepakat atau 'tidak'.

Dari 98,98 persen suara total, pilihan ya dan tidak terpaut 54 ribu suara. Penduduk yang menyaksikan hasil putusan bersama-sama pun terkaget-kaget. Sebelumnya, referendum ini diyakini menghasilkan kata sepakat.

Sejumlah orang hanya tampak bisa menangis. Lainnya bersorak. Perbedaan tipis ini jadi kerikil lain dalam tercapainya perdamaian total. Presiden Kolombia Juan Manuel Santos mengatakan tetap menerima putusan.

Meski ia harus bekerja lebih keras untuk menyamakan persepsi rakyat. Para pemilih 'tidak' dipimpin oleh mantan presiden Alvaro Uribe.

Menurut sebagian besar mereka yang menolak, tidak adil jika para pemberontak FARC lepas dari kejahatan yang telah mereka perbuat setelah kesepakatan damai ini disahkan. Dibawah perjanjian, pengadilan khusus akan dibentuk untuk mengadili setiap kejahatan semasa konflik.

Para pemberontak yang mengakui kejahatan akan diberikan toleransi. Mereka juga bisa menghindari penjara konvensional. Bagi sebagian orang, ini terlalu lunak. Para pemberontak bahkan akan diberi gaji bulanan. Pemerintah juga menawarkan bantuan keuangan bagi pemberontak yang ingin memulai bisnis.

Para pemilih 'tidak' mengatakan penghargaan itu terlalu banyak bagi penjahat. Sementara penduduk yang jujur dan tidak terlibat konflik tetap kesulitan secara finansial.

Sebagian lagi mengatakan mereka hanya tidak percaya pada pemberontak itu. Mereka mengingat negosiasi yang pernah gagal karena FARC memanfaatkannya untuk kembali bersenjata lengkap. Ketidaksepakatan mereka juga karena pemberontak akan diberikan 10 kursi di Kongres pada pemilu 2018 dan 2022.

Meski rakyat tak sepakat, presiden Santos mengatakan gencatan senjata bilateral antara pemerintah dan FARC akan tetap berlaku. Ia telah memerintahkan para negosiator pemerintah pergi ke Kuba untuk membahas perkembangan terbaru dengan FARC.

"Saya tidak akan menyerah," kata Santos, dikutip BBC. Ia berjanji untuk mencari celah damai hingga masa mandatnya berakhir. Ia mengatakan akan bertemu dengan semua pihak politik untuk mendiskusikan langkah lanjutan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement