Kamis 02 Nov 2017 08:26 WIB

PM Abadi Larang Faksi Bersenjata Ikut Pemilu Irak

Rep: Fira Nursya'bani/ Red: Teguh Firmansyah
Perdana Menteri Irak, Haidar al-Abadi.
Foto: Reuters
Perdana Menteri Irak, Haidar al-Abadi.

REPUBLIKA.CO.ID, BAGHDAD -- Perdana Menteri (PM) Irak Haidar Al-Abadi mengatakan faksi bersenjata tidak akan diizinkan untuk ambil bagian dalam pemilihan parlemen. Pemilihan direncanakan akan dilakukan pada 15 Mei tahun depan.

"Pasukan Mobilisasi Populer (PMF), sebagai bagian dari sistem keamanan Irak, tidak memiliki hak untuk mempraktikkan politik. Jadi, sebagai lembaga militer, mereka tidak akan ikut dalam pemilihan. Partai politik harus melepaskan sayap bersenjata mereka, atau mereka akan dicegah untuk ikut serta," kata Al-Abadi, Rabu (1/11), dikutip Arab News.

PMF adalah badan pemerintah yang dibentuk pada Juni 2014, yang mencakup semua faksi bersenjata. PMF selama ini digunakan untuk membantu Irak melawan kelompok teroris ISIS.

Badan ini terdiri dari lebih dari 10 ribu sukarelawan dari semua sekte, etnis, dan minoritas di Irak, namun mayoritas adalah pasukan paramiliter Syiah yang didukung Iran. Pengumuman Al-Abadi ini ditujukan untuk mengisolasi pasukan PMF dari faksi bersenjata asli Irak.

Beberapa bulan lalu, Al-Abadi memulai kampanye untuk merestrukturisasi unit PMF. Ia menggabungkan banyak dari anggota PMF dengan unit tentara reguler, membubarkan banyak batalyon, dan membentuk brigade baru dari berbagai faksi bersenjata.

Ia juga mencegah penggunaan nama-nama faksi yang tidak beraturan dan melarang penggunaan tanda, spanduk, atau gambar milisi apa pun.

Namun, partai politik Syiah, Sunni, Kurdi, Turkmen, Kristen, dan Yazidi yang terdaftar di Irak memiliki sayap bersenjata, dan kebanyakan dari mereka adalah bagian dari PMF. Pengumuman Al-Abadi akan berpengaruh pada partai-partai tersebut.

"Hampir semua partai politik memiliki relawan dalam Mobilisasi Populer. Tidak adil menghukum para politisi yang melawan ISIS," ujar Kareem Al-Nuri, komandan PMF dan pemimpin senior Organisasi Badr, salah satu faksi bersenjata Syiah yang paling berpengaruh.

"Ya, partisipasi pejabat keamanan atau militer telah dilarang dalam konstitusi, tapi jika mereka mengundurkan diri atau berpartisipasi sebagai politisi, tidak akan ada masalah. Tapi PMF adalah bagian dari pasukan keamanan Irak. Milisinya tunduk pada undang-undang dan standar militer. Dan ya, mereka tidak akan ikut pemilihan karena mereka adalah tentara," jelasnya.

Keputusan tanggal pemilihan harus disetujui oleh parlemen dan presiden setidaknya 90 hari sebelumnya, sebelum dapat dikonfirmasikan. Irak memiliki 18 konstituensi parlemen, masing-masing memilih antara tujuh dan 34 deputi menurut demografi.

Pemilu terakhir berlangsung pada April 2014. Aliansi State of Law milik mantan Perdana Menteri Nuri Al-Maliki memenangkan sebagian besar suara, namun gagal mencapai suara mayoritas secara keseluruhan. Al-Maliki menyerahkan kekuasaan kepada Al-Abadi pada Agustus.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement