REPUBLIKA.CO.ID, BAGHDAD -- Partai pemimpin Muslim Syiah, Muqtada al-Sadr, memenangkan pemilihan parlemen Irak yang digelar pada Ahad (10/10) lalu. Berdasarkan hasil awal dari beberapa provinsi Irak ditambah ibukota Baghdad, al-Sadr telah memenangkan lebih dari 70 kursi.
Kemenangan al-Sadr dapat memberikan pengaruh yang cukup besar dalam membentuk pemerintahan. Seorang juru bicara kantor al-Sadr mengatakan partai al-Sadr meraih kemenangan 73 kursi.
Hasil awal juga menunjukkan kandidat pro reformasi yang muncul dari protes 2019 telah memperoleh beberapa kursi di parlemen yang beranggotakan 329 orang. Al-Sadr telah meningkatkan kekuasaannya di Irak sejak koalisinya memenangkan 54 kursi dalam pemilihan 2018. Pemimpin agama populis yang tak terduga ini telah menjadi tokoh dominan dan sering menjadi raja dalam politik Irak sejak invasi AS.
Al-Sadr telah menentang semua campur tangan asing di Irak. Dia tidak ingin Amerika Serikat (AS) maupun Iran mencapuri urusan Irak. Al-Sadr melawan pemberontakan bersenjata dan mengkritik Iran yang memiliki keterlibatan politik di Irak.
Al-Sadr telah menyerukan penarikan pasukan AS dari Irak. Sementara Washington mempertahankan sekitar 2.500 pasukan dalam perang berkelanjutan melawan ISIS. Analis Irak, Ali Anbori, menyebut kemenangan al-Sadr tidak mengejutkan.
“Muqtada telah bekerja keras untuk memenangkan pemilu. Mereka memiliki mesin pemilu yang baik dan mereka menggunakan segala macam cara untuk mencapai tujuan mereka,” kata Anbori dilansir Aljazirah, Selasa (12/10).
Anbori mengatakan al-Sadr telah menjadi pemain politik utama di Irak sejak 2005. Dia menjelaskan tidak ada perdana menteri Irak yang mengambil posisi itu tanpa persetujuan dari al-Sadr. Namun Anbori menerangkan al-Sadr dan kelompoknya menjadi pemain berpengaruh yang dituduh melakukan korupsi.
Kelompok Syiah Irak telah mendominasi pemerintahan dan pembentukan pemerintah sejak invasi pimpinan AS yang menggulingkan pemimpin Sunni Saddam Hussein, pada 2003. Hal tersebut melambungkan mayoritas Syiah dan Kurdi ke tampuk kekuasaan.
Pemilihan parlemen pada Ahad diadakan beberapa bulan lebih awal. Hal ini dilakukan sebagai tanggapan atas protes massal pada 2019, yang menggulingkan pemerintah dan menunjukkan kemarahan yang meluas terhadap para pemimpin politik. Sebagian besar warga Irak meyakini para elite politik telah memperkaya diri mereka sendiri dengan mengorbankan negara.
Baca juga : Pemilu Irak Catatkan Tingkat Partisipasi Terendah dalam Sejarah