Senin 11 Apr 2011 16:24 WIB
Pembajakan Kapal MV Sinar Kudus

Kisah Perompak Somalia: Menjadi Perompak Gara-gara Ikan Tuna (Bagian 3)

Cara perompak Somalia menaiki kapal sasaran mereka.
Foto: NYTimes
Cara perompak Somalia menaiki kapal sasaran mereka.

REPUBLIKA.CO.ID, NAIROBI--"Sumpah kami gak tahu kalau kapal itu isinya tank dan amunisi kelas berat! Kami hanya lihat ada kapal besar maka kami merompaknya," kata juru bicara perompak Sugule Ali, lewat sambungan telepon satelit pada wartawan New York Times.

Dalam wawancara selama 45 menit itu, Ali menceritakan apa sebenarnya yang perompak Somalia inginkan. Bahwa mereka hanya ingin duit tebusan dan ingin ilegal fishing di perairan Somalia enyah. Mereka ingin hidup normal, makan nasi, daging, roti, dan spagheti, "Yah makanan normal layaknya manusia lah," kata Ali.

Menurut Ali, perompak kerap disalahartikan. "Kami bukan bandit loh!" katanya. "Yang bandit itu orang-orang dengan kapal besar yang menjarah ikan kami dan membuang sampah di laut kami. Kami hanya berpatroli di perairan kami. Yah semacam penjaga pantai lah," katanya dengan penuh percaya diri.

Ada hirarki tertentu dalam kelompok perompak. Misalnya, yang menjadi juru bicara hanya satu orang. Yaitu, Sugule Ali. Lainnya tidak dan bekerja sesuai bidangnya masing-masing. Saat diwawancarai New York Times, Ali mengatakan posisi mereka sudah terjepit oleh kapal perang Amerika Serikat.

Tidak takut? "Hidup hanya sekali, ngapain takut?" katanya.

Ia menjelaskan, saat itu kondisi di kapal normal. Ia lantas membantah laporan suatu organisasi maritim yang menyatakan ada tiga perompak terbunuh baku tembak.

Soal kapal yang mengangkut tank dan senjata berat lainnya yang bernilai puluhan juta dolar AS, Ali menegaskan kelompoknya tidak tertarik dengan senjata. Dengan demikian ia tidak menjual senjata-senjata itu pada milisi yang berperang di Somalia atau ngara tetangganya.

"Somalia sudah menderita bertahun-tahun gara-gara senjata-senjata ini. Kami tidak ingin penderitaan itu terus berlangsung. Kami tidak akan membongkar muatan senjata ini," katanya dengan nada tegas.

Perompak meminta tebusan 20 juta dolar AS dalam bentuk uang tunai. Tapi tebusan ini masih bisa ditawar. "Pokoknya asal dua pihak sepakat saja," jelas Ali.

Perompakan di Somalia adalah bisnis yang sangat rapi dan teroganisir. Tujuan mereka hanya uang. Jumlah perompak diperkirakan ada ribuan orang.

Semua bermula 10-18 tahun lalu. Ketika perairan Somalia yang kaya ikan tuna dijarah habis-habisan oleh kapal nelayan internasional. Pada saat yang sama, pemerintahan Somalia jatuh. Meninggalkan banyak faksi bersenjata saling perang sendiri.

Nelayan Somalia yang hidupnya terjepit menjadi murka. Mereka mencari kapal-kapal ilegal fishing dan menarik pajak. Dari sini, pajak berubah menjadi sandera kapal-kapal kargo berisi minyak, bahan tambang, bahkan peralatan militer dan apa saja.

Pada pertengahan tahun 2000-an, nyaris seluruh nelayan Somalia di pantai timur  menukarkan jaring ikan mereka dengan senjata api. Mereka membajak kapal apapun yang lewat di depan mata. Perahu kecil hingga kapal tanker. Bahkan kapal pengangkut bantuan makanan milik PBB pun ikut disandera.

Salah satu pasokan penting bagi perompak adalah senjata. Banyak negara sudah memprotes peredaran senjata ilegal di Afrika. Perompak Somalia dikabarkan mendapat pasokan rutin senjata dari Kenya dan Sudan.

Sementara itu, pemerintah Somalia sudah angkat tangan terhadap aksi warganya di perairan. Mereka malah menyarankan agar militer negara bersangkutan menyerbu saja para perompak itu. Mereka mengingatkan, membayar denda ke para perompak tidak akan menyelesaikan masalah. Malah menambah masalah karena makin banyak pemuda non perompak yang tertarik terjun ke bisnis haram ini.

Sugule Ali, kembali berbicara, menegaskan mereka menjaga kru kapal dengan baik. "Membunuh bukan bisnis kami. Kami cuma pengen duit jadi kami tidak kelaparan," katanya.

Ketika ditanya mengapa minta tebusan 20 juta dolar AS kalau hanya untuk makan? Sugule menjawab sambil tertawa, "Lah, kami ini kan terdiri atas banyak orang."

sumber : New York Times
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement