REPUBLIKA.CO.ID, KAIRO – Bertahun-tahun setelah apatis terhadap politik, rakyat Mesir, Senin (28/11), masuk dalam antrean untuk memberikan suaranya dalam pemilu pertama mereka sejak penggulingan parlemen Hosni Mubarak.
Peristiwa ini menjadi langkah besar Mesir menjadi negara demokratis setelah beberapa dekade di bawah era kediktatoran. Pemilihan yang menjadi tonggak sejarah Mesir ini telah diwarnai oleh kekacauan di jalanan, dan masyarakat yang secara tajam terpolarisasi dan bingung terhadap arah yang dituju bangsa mereka.
Namun, pemilihan kali ini menjanjikan sebuah pemilihan paling adil dan bersih selama sejarah Mesir. Antrean panjang di luar tempat pemungutan suara sejak pagi hari menunjukkan hasil yang layak dihormati.
Ikhwanul Muslimin (IM), kelompok terbesar dan paling terorganisir di Mesir, bersama dengan sekutu Islam mereka yang diharapkan memenangi pemilihan, menjadi sumber keprihatinan bagi kelompok sekuler dan liberal di Mesir yang bersemangat untuk memisahkan antara agama dan politik.
Para pemilih berdiri dalam antrean panjang di luar beberapa tempat pemungutan suara di Kairo, bahkan sebelum penyelenggara pemilihan membuka tempat pada pukul 08.00 pagi waktu setempat. Antrean ini menjadi adegan langka yang menunjukkan minat partisipasi politik setelah beberapa dekade bersikap apatis hampir pada setiap pemilu.
Pemilihan parlemen Mesir terakhir diadakan November dan Desember tahun lalu di bawah kepemimpinan Mubarak, yang dipaksa mundur pada Februari setelah pemberontakan 18 hari. Kala itu jumlah suara sangat dimanipulasi, dengan hasil pemilu membuat partai berkuasa Mubarak memenangkan nyaris semua kursi di parlemen.
"Saya memberikan suara untuk kebebasan. Kami tinggal dalam perbudakan. Sekarang kita menginginkan keadilan dalam kebebasan," kata Iris Nawar (50), saat hendak memberikan suaranya di distrik Maadi di pinggiran kota Kairo.
"Kami takut kepada Ikhwanul Muslimin. Tapi jika selama 30 tahun kami (dapat) hidup di bawah Mubarak, kami juga akan bertahan hidup dengan mereka," kata Nawar, yang baru pertama kali memberikan suara dalam pemilihan.
Di lingkungan kelas atas di wilayah Zamalek, sekitar 500 pemilik suara menunggu di garis luar sebuah tempat pemilihan di sebuah sekolah. Shahira Ahmed (45) termasuk di antara mereka bersama suami dan putrinya. Seperti Nawar, kali ini menjadi pengalaman pertamanya ikut serta dalam pemilihan.
"Saya tidak pernah memilih karena saya tidak pernah yakin pemilihan itu serius. Kali ini, saya berharap pemilihan ini serius," katanya, menyinggung kelompok Islam fanatik yang berharap mendominasi parlemen berikutnya dan membawa mereka lebih dekat untuk mewujudkan impian mereka menciptakan Mesir sebagai negara Islam.