Sabtu 04 Feb 2012 13:11 WIB

Rongrongan Israel dari Dalam, Kebangkitan Yahudi Ultra-Fanatik (2)

Yahudisasi Yerusalem
Foto: infopalestina
Yahudisasi Yerusalem

REPUBLIKA.CO.ID, YERUSALEM - Mengapa wanita Yahudi harus berpakaian berlapis-lapis? Rabi yang menyarankan Naomi Machfud sebenarnya berencana memaparkan itu, namun si rabi membatalkan dalam menit terakhir. Pada saat itu, tidak disarankan untuk memberi dukungan terbuka kepada wanita 'Taliban', karena beberapa ultra-ortodok baru saja menerapkan aturan yang diumumkan di surat kabar dinding. "Kalian tak boleh menutup tubuh dalam pakaian abnormal dan aneh, termasuk cadar, terutama bila suami tidak menyetujui."

Machfud tersenyum. "Beberapa lelaki tidak suka itu," ujarnya. "Tiba-tiba kita lebih religius ketimbang mereka," ujarnya. Karena itu ia kini menjelaskan bahwa cara berpakaiannya seluruhnya adalah dirinya dan pilihannya, tak ada sangkut pautnya dengan saran orang lain, juga rabi yang pernah mendorongnya.

Untuk menyokong argumennya ia menempatkan sebuah buku lusuh di atas meja, judulnya, "World of Purity" (Dunia Kemurnian), salah satu judul laris di kalangan komunitas ultra-ortodok.

Ia membuka gambar-gambar wanita dari abad lampau, sebagaian mereka Yahudi, dari Yaman, Maroko, Yunani, tapi ada juga wanita Amish dan Arab. Mereka semua memiliki kesamaan; mengenakan jubah gelap besar, termasuk cadar. Itulah di masa lalu, ujar Machfud, dan itulah bagaimana seharusnya hari ini, katanya meyakini.

Wanita Yahudi ortodok mengenakan blus lengan panjang dan juga rok panjang dengan kerudung untuk menutupi rambut. Namun bagi Machfud itu masih belum cukup. Ia masih melihat ada pakaian yang terlalu fesyen, terlalu ketat, terlalu cantik dan tidak sopan. Penampilan menarik wanita, ujarnya, harus disimpan dan hanya diperlihatkan untuk suami. Bila itu dilanggar, ia menganggapnya sebuah dosa, selama ada dosa, maka Messiah tak mungkin datang.

"Akankah kamu mengenakan cincin berlian di pasar? Tidak itu salah, anda harus menyembunyikan itu di rumah," ujar seorang wanita yang duduk di samping Machfud, Revital Shapira, 46 tahun yang memiliki delapan anak. Tubuhnya tertutup sepenuhnya dalam jubah hitam dengan rok sepanjang empat lantai, selendang dan kerudung.

Berbeda dengan Machfud yang lembut dan lebih manis, Shapira sangat ideologis dan keras, namun keduanya tinggal di dunia di mana wanita yang mengurus semua pekerjaan rumah tangga, memiliki anak dan meninggalkan rumah seminim mungkin. Mereka menjalani hidup tanpa komputer, mesin cuci. Mereka mengandalkan makanan organik dan pakaian yang diproduksi sendiri.

"Wanita harus menghilang dari publik. Mereka tak harusnya pergi dan tidak seharusnya berbicara dengan orang asing di jalan," ujar Shapira. "Sayangnya mayoritas warga Israel tidak memahami ini, itulah mengapa kami membangun sistem paralel." ujarnya.

Kedua wanit itu memang tak berbicara kepada lelaki selain suami mereka dan langsung meninggalkan ruangan begitu ada pria masuk. Mereka juga memaksa anak perempuan mereka mengikut itu. "Tentu kami juga menginginkan anak kami menjalani sistem ini pula."

"Selama berdekade, para pemimpin pria dari ultra-ortodok tak pernah berbicara selain kesantunan," ujar pakar sosiologi Tamar El Or, dari Universitas Hebrew. "Tak peduli bagaimana pun, wanita selalu dikuliahi tentang moralitas, dan bahkan yang paling taat pun harus mendengarkan, setiap pagi, siang, malam, tentang bagaimana mereka dengan sisi feminitasnya, membawa dosa kepada pria."

Panjang rok menjadi standar emas, dan setiap lapis tambahan pakaian dipandang kian mendekatkan seorang wanita kepada Tuhan. "Beberapa wanita bahkan mulai menggunakan rok panjang berlebihan, seperti anoreksia." Bagi El Or, obsesi ini adalah kebajikan dan juga pemberontakan terhadapa rabi dan suami, di mana wanita memilih menentukan tubuh dan keyakinannya sendiri.

Bruria Keren ialah contih kasus yang sangat ekstrim. Dia memakai 27 lapisan bahan. dan dikenal Israel sebagai "Mama Taliban,". Keren adalah salah satu pemimpin 'wanita dengan selendang' itu.

Lahir di sebuah kibbutz, sebutan untuk lingkungan yahudi taat, ia kerap disiksa oleh ayahnya, dia akhirnya menjadi agamis- sebuah cerita yang khas. Saat ia menjadi kian dan kian terobsesi dengan moralitas, ia mulai memukul anak-anaknya, memaksa mereka untuk berdoa dan menghukum dengan memotong rambut mereka Alasan itu pula yang membuat ia sekarang menjalani hukuman penjara empat tahun. (bersambung)

sumber : Der Spiegel
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement