Selasa 29 Jan 2013 09:52 WIB

Presiden Prancis: Kami Memenangi Perang di Mali

 Tentara Perancis tengah uji coba senjata di pangkalan udara Mali di Bamako, Senin (14/1). (Reuters/Joe Penney)
Tentara Perancis tengah uji coba senjata di pangkalan udara Mali di Bamako, Senin (14/1). (Reuters/Joe Penney)

REPUBLIKA.CO.ID, PARIS -- Presiden Prancis Francois Hollande menyatakan pasukan Mali yang dibantu hampir 3.000 prajurit Prancis menang dalam perang untuk merebut kembali wilayah utara dari kelompok garis keras.

"Kami menang dalam perang ini," kata Hollande kepada wartawan pada Senin (28/1)

Hollande menambahkan, adalah tugas Prancis, eks-penguasa kolonial Mali, untuk menciptakan kondisi bagi pasukan Afrika yang akan memberi Mali stabilitas yang mampu bertahan.

Tentara Mali, yang didukung intervensi militer Prancis, memerangi militan garis keras yang menguasai wilayah gurun utara setelah kudeta militer tahun lalu.

Para pemimpin pertahanan kelompok negara Afrika Barat ECOWAS pada Sabtu (26/1) lalu telah setuju meningkatkan jumlah pasukan yang dijanjikan untuk Mali menjadi 5.700.

Prancis, yang bekerja sama dengan militer Mali, pada 11 Januari lalu meluncurkan operasi ketika militan mengancam maju ke ibu kota Mali, Bamako, setelah keraguan berbulan-bulan mengenai pasukan intervensi Afrika untuk membantu mengusir kelompok garis keras dari wilayah utara.

Mali, yang pernah menjadi salah satu negara demokrasi yang stabil di Afrika, mengalami ketidakpastian setelah kudeta militer pada Maret 2012 menggulingkan pemerintah Presiden Amadou Toumani Toure.

Sebagaimana diketahui, kelompok garis keras, yang kata para ahli bertindak di bawah payung Al Qaida di Maghribi Islam (AQIM), menguasai kawasan Mali utara, yang luasnya lebih besar daripada Prancis.

Militan garis keras Ansar Dine (Pembela Iman) merupakan salah satu dari sejumlah kelompok terkait Al Qaida yang mengusai Mali utara di tengah kekosongan kekuasaan akibat kudeta militer pada 22 Maret di wilayah selatan.

Ansar Dine menguasai Timbuktu, sementara Gerakan Keesaan dan Jihad di Afrika Barat (MUJAO) memerintah Gao, kota besar lain di Mali utara. Kelompok-kelompok itu memberlakukan sharia di wilayah mereka dan berniat memperluas penerapan hukum Islam itu di kawasan lain Mali.

Muslim garis keras itu juga menghancurkan makam-makam kuno Sufi di Timbuktu, yang diklasifikasi UNESCO sebagai lokasi warisan dunia. Mereka menganggap tempat-tempat keramat tersebut sebagai musyrik dan menghancurkan tujuh makam dalam waktu dua hari saja.

sumber : antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement