Kamis 07 Mar 2013 14:35 WIB

Pemilu Mesir Ditunda, Krisis Politik Mengadang

Rep: Indah Wulandari/ Red: Karta Raharja Ucu
Presiden Mesir, Mohammed Mursi
Foto: REUTERS
Presiden Mesir, Mohammed Mursi

REPUBLIKA.CO.ID, KAIRO -- Mahkamah Tinggi Mesir Rabu (6/3) kemarin mengumumkan penundaan pemilihan umum yang sudah dijadwalkan berlangsung 22 April mendatang. Putusan ini berpotensi membawa Mesir ke jurang resesi politik.

Hakim Abdel Meguid al-Moqanen saat membacakan putusannya menilai pernyataan Presiden Muhammad Mursi untuk menyelenggarakan pemilu sebulan lagi itu tidak kuat. Alasannya, Mursi tidak mengirimkan permintaan secara tertulis untuk diratifikasi Mahkamah Tinggi Konstitusional Mesir.

“Konsekuensinya, pernyataan itu tidak punya kekuatan hukum yang kuat dan otomatis hukum negara tidak mengakui pernyataan Mursi untuk ditindaklanjuti,” terang al-Moqanen seperti dikutip kantor berita AFP.

Sejatinya hukum tentang pemilu dibuat Senat sebagai lembaga legislatif. Usulan dari majelis rendah parlemen kemudian dibahas bersama setiap Juni. Setelah disepakati, Senat mengirimnya ke mahkamah yang berwenang menolak beberapa usulan undang-undang.

Harian  Al-Ahram menyebutkan alasan mahkamah mengesampingkan rencana pemilu sebulan lagi menunggu kepastian dari badan legislasi. Bila mahkamah telah sepakat, Senat mengamandemen peraturan yang telah disetujui tadi. Kemudian membuat finalisasi undang-undang. Di prosedur inilah posisi Mursi terjepit.

Pemimpin Ikhwanul Muslimin ini justru berharap agar pemilu segera digelar supaya kondisi negaranya stabil. Bahkan Mursi merancang pemilu dalam empat tahap yang diselenggarakan selama dua bulan.

Penasihat hukum Mursi memastikan akan merilis pernyataan setelah berunding dengan sang presiden. Selentingan dari pihak Mursi, mereka bersikap menghargai putusan mahkamah. Sikap tersebut ditunjukkan sebagai rasa hormat terhadap konstitusi negara dan etika politik. Mursi pun sempat nge-tweet kalau gelaran pemilu sepertinya ditunda.

Kelompok oposisi pemerintah, Front Perjuangan Nasional (NSF) sebelumnya sudah berencana memboikot pemilu. Mereka meragukan transparansi hasilnya kelak. Keinginan mereka justru membentuk undang-undang pemilu baru.

Kelompok Mursi dan NSF terbelah sejak November lalu setelah Mursi mengumumkan pelaksanaan peraturan berdasarkan syariah Islam. NSF menabuh genderang permusuhan dengan tuduhan monopoli pemerintahan pada setiap organ Ikhwanul Muslimin. Suasana Mesir kian memanas dengan protes massa dari seluruh lapisan masyarakat menuntut perubahan.

 

Usai permintaan referendum Mursi pada Desember lalu, keinginan oposisi menguat untuk membentuk pemerintahan baru sebelum pelaksanaan pemilu. Presiden menukas bila parlemen barulah yang berhak menunjuk kabinet.

Kisruh internal pemerintahan itu juga berdampak pada karut marutnya kelompok massa di kota Port Said. Petugas keamanan setempat, Mohsen Radi, menjelaskan massa kian bertambah di hari keempat protes. Terjadi bentrokan antara petugas dengan massa yang ditandai lemparan batu ke arah petugas yang menyemprotkan gas air mata. Beberapa kali letupan senjata terdengar.

“Pemerintahan kotor!” teriak para demonstran. Entah berapa korban lagi yang berjatuhan setelah 70 warga Mesir tewas di tengah protes sejak Januari lalu.

sumber : AFP/Reuters/IANSI
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement