Rabu 03 Apr 2013 00:15 WIB

Kisah Invasi AS ke Irak: Semua Demi Minyak

Rep: Teguh Setiawan / Red: M Irwan Ariefyanto
Serangan bom bunuh diri terus melanda Irak. (ilustrasi)
Foto: 1
1

Noam Chomsky, kritikus kebijakan luar negeri AS dalam It’s Imperialism, Stupid, menulis invasi ke Irak bukan sekadar perang melawan teror. Ia yakin Inggris dan AS telah merencanakan perang ini sedemikian lama agar bisa mengontrol sumber minyak dunia.

Noam Chomsky juga memaparkan sebuah laporan rahasia dari National Intelligence Council (NIC), pusat komunitas intelijen untuk pemikiran strategis. Dalam laporan yang dibuat pada malam invasi itu, NIC meramalkan invasi AS hanya akan meningkatkan dukungan bagi Islam politik dan menghasilkan masyarakat Irak yang terpecah-pecah, serta rentah terhadap konflik internal.

Douglas Jehl dan David E Sanger dari New York Times mengutip laporan NIC secara lebih terperinci. Menurut NIC, Irak kemungkinan akan menjadi ladang pembibitan teroris. Lebih dari itu, menurut NIC, teroris yang dihasilkan dari invasi AS ke Irak lebih profesional dan memiliki kemampuan berbahasa Inggris jauh lebih baik.

Chomsky yakin prioritas lain, yang tentunya lebih tinggi, membuat para perencana perang di Washington mengabaikan laporan rahasia ini. Terdapat kesan, Bush dan Blair lebih suka mengambil risiko akan meningkatnya terorisme, demi penguasaan ladang minyak.

Abdulrahman Al-Rashed dari Al Arabiya menulis, yang juga dilupakan AS saat menginvasi Irak adalah tidak memahami sikap Suriah dan Iran, serta keengganan negara-negara Teluk mendukung kebijakan penggulingan Saddam Hussein. Suriah, yang bekerja sama atas nama Iran, memperlihatkan dukungan terhadap tindakan AS di Irak. Namun, sejak Saddam Hussein jatuh, Suriah dan Iran menjadi pengendali situasi perang di Irak, berkat pengaruh kedua negara di kelompok Syiah.

Iran membentuk kelompok-kelompok perlawanan terhadap pendudukan AS di Irak. Suriah, berkat kemampuannya menjaga perbatasan kedua dengan tenang, menyalurkan senjata ke orang-orang Syiah di Baghdad. Di sisi lain, Alqaidah membuka franchise-nya di Irak, dengan tujuan memerangi Syiah dan AS. AQI melihat invasi AS sebagai hasil rekayasa pembangkang Syiah, yang bertujuan menggulingkan Saddam Hussein.

Pada akhirnya, dunia menyaksikan invasi Paman Sam menghasilkan dua hal; nyaris membangkrutkan AS dan menghancurkan Irak. Jika ada yang diuntungkan dari perang ini mungkin hanya perusahaan-perusahaan minyak, seperti ExxonMobil, Chevron, Shell, dan Halliburton.

Halliburton adalah perusahaan milik Dick Cheney, wapres AS saat itu. Mereka menguasai sumur-sumur minyak tanpa perlu mengikuti tender, membawa pulang hasilnya, seraya meninggalkan sekian juta rakyat Irak tanpa listrik dan air. Lebih 80 persen minyak Irak diekspor perusahaan asing, yang bekerja sama dengan kedutaan AS di Baghdad.

Entah bagaimana sejarah dunia akan mencatat peristiwa invasi AS dan Inggris ke Irak. Yang pasti, kedua negara, serta beberapa penyokongnya, tidak ubahnya bajak laut yang menjarah suatu negara, lalu meninggalkannya dalam keadaan compang-camping.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement