Jumat 05 Jul 2013 18:08 WIB

Kudeta Militer Mesir Akan Menjadi Bencana di Masa Depan

Rep: Nur Aini/ Red: Djibril Muhammad
Adly Mansour (kiri) ditnjunk Mahkamah Konstitusi sebagai pemimpin transisi dalam krisis Mesir menggantikan Presiden Muhammad Mursi
Foto: AP PHOTO
Adly Mansour (kiri) ditnjunk Mahkamah Konstitusi sebagai pemimpin transisi dalam krisis Mesir menggantikan Presiden Muhammad Mursi

REPUBLIKA.CO.ID, KAIRO -- Militer Mesir berhasil menggulingkan Muhammad Mursi dari kursi presiden pada Rabu (3/7) waktu setempat. Kudeta militer ini dianggap telah menjadi intervensi penghancuran politik negara yang baru saja menghirup udara demokrasi untuk pertama kalinya dalam beberapa dekade.

Kudeta militer inipun dinilai kolomnis di The Guardian, Jonathan Steele akan menjadi bencana bagi masa depan Mesir. Militer yang tampaknya mundur dari politik setelah lengsernya Hosni Mubarak pada Februari 2011 telah kembali melangkah ke arena kekuasaan.

Mereka pertama mengeluarkan ultimatum kepada presiden yang terpilih untuk menaati militer atau mengundurkan diri. Militer juga mengancam akan meletakkan peta jalan sendiri dan menunda konstitusi.

Menurut Steele, menolak hasil pemilihan yang bebas dan adil serta mengesampingkan hukum negara merupakan langkah yang seharusnya tidak diambil militer. "Kenyataan bahwa langkah tentara disambut oleh banyak kaum revolusioner yang pertama kali berani pergi ke jalan-jalan melawan Mubarak pada 2011 adalah komentar putus asa pada kenaifan politik dan kepicikan mereka," ujar Steele.

Steele menekankan dia tidak mengatakan Presiden Muhammad Mursi tidak bersalah. Tuduhan politik melawannya panjang dan rinci di mana pelanggaran terburuk Mursi adalah penerbitan keputusan memperpanjang kekuasaannya pada November lalu. Tapi dengan cepat dia mencabut keputusannya setelah ada protes.

Selama gejolak terbaru demonstrasi di jalanan, Steele mengatakan Mursi kembali menunjukkan kemauan untuk berkompromi dan menawarkan pembentukan pemerintahan persatuan nasional serta mempercepat pemilihan parlemen baru.

"Namun, membuatnya (Mursi) bertanggung jawab pada kekecewaan selama dua tahun terakhir adalah tidak masuk akal," ujar Steele.

Menurut dia, seharusnya pengadilan administratif tertinggi yang merusak majelis rakyat yang perlu bertanggung jawab. Bahkan, Steele juga menyatakan pemimpin partai oposisi-lah yang bertanggung jawab atas dominasi Ikhwanul Muslimin pada pemerintahan Mursi. Ini karena Mursi telah mengundang mereka untuk bergabung dalam kabinet. Namun, tawaran Mursi tersebut ditolak.

Terkait kegagalan ekonomi Mesir untuk menyediakan puluhan ribu anak muda yang lulus tiap tahun, Steele menyatakan seharusnya presiden bukan pihak yang disalahkan.

Mursi telah bekerja sama dengan International Monetary Fund (IMF) untuk mengakhiri subsidi makanan dan harga utilitas yang akan menciptakan lebih banyak penghematan. Langkah itu juga telah dilakukan para pemimpin oposisi yang saat ini berteriak soal kekuasaan.

Sementara itu, kegagalan di sektor pariwisata lebih disebabkan pada banyakanya kekacauan dan ketidakstabilan dalam negeri. Demonstrasi yang terus terjadi membuat orang luar enggan datang ke Mesir.

Steele mengatakan banyak pihak yang mengancam demokrasi Mesir dari dalam tubuh negara. Hal itu seperti birokrasi yang masih terdiri dari pejabat Partai Nasional Demokrasi bekas Mubarak, pengusaha elite dan kroni-krininya, serta hierarki militer yang mengekspolitasi aset negara atau diuntungkan dari industri dan perusahaan yang baru diprivatisasi.

"Banyak yang menuduh Mursi bergabung dengan jajaran elite otoriter, tetapi tuduhan nyatanya adalah dia terlalu sedikit menantang mereka. Kekuatan polisi yang korup dan brutal," ujar Steele.

Ironisnya, peristiwa yang terjadi beberapa hari terakhir di Mesir dibuat pihak sangat elite. Steele membenarkan Ikhwanul Muslimin dan pendukungnya merupakan gerakan konservatif sosial yang dapat menimbulkan ancaman terhadap hak-hak sipil warga Mesir.

Namun, menurut dia, bahaya terbesar bagi negara adalah hak politik semua warga Mesir yang menang dengan penggulingan Mubarak.

"Penghapusan partai dengan satu aturan, hak semua kelompok politik untuk bebas berorganisasi, pencabutan sensor media serta pengibirian perbedaan pendapat merupakan manfaat yang tidak boleh dianggap enteng," ungkapnya.

Dia menambahkan mereka yang percaya militer akan melestarikan kebebasan baru akan segera kecewa. Dalam sejarahnya, dari Chili pada 1973 dan Pakistan pada 1999, kudeta militer yang pertama disambut meriah warga, kemudian diikuti tahun-tahun penuh keputusasaan. "Untuk Mesir yang mengikuti tradisi ini adalah bencana," cetusnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement