Selasa 22 Oct 2013 12:38 WIB

Pasukan AS Ditarik, Sampah Menumpuk di Afghanistan

Pasukan Amerika Serikat (AS) di Afghanistan
Foto: ap
Pasukan Amerika Serikat (AS) di Afghanistan

REPUBLIKA.CO.ID, KABUL -- Sampah-sampah militer dilaporkan menumpuk di sekitar basis-basis militer Amerika Serikat di Afghanistan saat pasukan Amerika Serikat ditarik secara bertahap dari negara tersebut.

Setiap minggu, pasukan AS menjual sampah militer yang terdiri dari perlengkapan militer, televisi sampai mesin pembuat es krim senilai 12-14 juta poundsterling.

Afghanistan merupakan negara tanpa dibatasi laut (landlocked) sehingga mengangkut kembali barang-barang itu ke asalnya akan sangat mahal. Diperkirakan sampah senilai 7 miliar USD akan tertinggal saat pasukan As selesai ditarik nantinya.

Semua peralatan militer itu akan dihancurkan terlebih dahulu agar tidak disalahgunakan. Besi tua itu tidak akan berpengaruh banyak pada ekonomi lokal kecuali bagi beberapa pihak yang mengepulnya.

"Banyak dari peralatan non-militer mempunyai jangka waktu pemakaian dan dapat menyebabkan bahaya. Misalnya, timer yang dapat digabungkan dengan bahan peledak. Treadmill, perlengkapan rumah tangga dan lainnya yang mempunyai penunjuk waktu," kata Michelle McCaskill, seorang juru bicara untuk Agen Logistik Pertahanan Pentagon dikutip dari The Washington Post, Selasa (22/10)

Namun para pengepul banyak yang frustasi dengan penghancuran itu yang membuat mereka praktis hanya menerim sampah. Merek berharap dapat memanfaatkan beberapa peralatan untuk keperluan mereka pribadi atau dijual kembali.

Di Afghanistan, yang dikenal sejak dahulu dengan julukan 'Kuburan Para Imperium' itu, pasukan asing selalu meninggalkan banyak hal saat mereka pergi.

Tahun 1840 negara adidaya Inggris meninggalkan sebuah benteng yang masih berdiri sampai saat ini. Tahun 1980-an, Rusia meninggalkan kendaraan tank, truk dan beberapa pesawat berserakan di seluruh negeri. Sementara AS akan meninggalkan tilam-tilam bekas, kawat duri dan samph besi tua di sekitar pangkalan-pangkalan mereka.

sumber : The Washington Post
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement