Selasa 13 May 2014 15:51 WIB

Usai Referendum, Pemberontak Ukraina Ingin Gabung Rusia

Rep: Dessy Suciati Saputri/ Red: Bilal Ramadhan
Seorang pria bertopeng pro-Rusia berjaga-jaga di depan kantor pemerintahan lokal di Slovyanks, Ukraina.
Foto: AP Photo/Manu Brabo
Seorang pria bertopeng pro-Rusia berjaga-jaga di depan kantor pemerintahan lokal di Slovyanks, Ukraina.

REPUBLIKA.CO.ID, DONETSK-- Setelah menggelar referendum, pemimpin pemberontak pendukung Rusia di Ukraina timur ingin bergabung dengan Rusia. Pemimpin Republik Rakyat Donetsk, Denis Pushilin mengatakan wilayahnya saat ini merupakan negara yang independen dan ingin bergabung dengan Federasi Rusia setelah menyatakan kemerdekaannya.

"Rakyat Donetsk selalu menjadi bagian dari Rusia. Bagi kami, sejarah Rusia merupakan sejarah kami," katanya. "Berdasarkan keinginan rakyat dan restorasi keadilan sejarah, kami meminta Federasi Rusia untuk mempertimbangkan bergabungnya Republik Rakyat Donetsk ke dalam Federasi Rusia," lanjutnya.

Sejumlah pejabat mengatakan warga di Luhansk maupun di Donetsk mungkin menggelar referendum kedua untuk bergabung dengan Rusia, seperti di Crimea. Donetsk dan Luhansk berpenduduk sebanyak 6.5 juta orang.

Para separatis Donetsk mengatakan terdapat lebih dari 80 persen pemilih mendukung kemerdekaan. Sedangkan, di Luhansk, terdapat 96 persen yang mendukung pemisahan diri tersebut. Baik pemerintah Kiev dan barat menganggap langkah mereka konyol, tanpa adanya dasar hukum yang jelas, dan bisa menyebabkan perpecahan.

Mereka mengatakan banyak warga yang mendukung bersatunya Ukraina, tetapi mereka lebih memilih untuk tetap di rumah karena takut terhadap para pemberontak bersenjata. Namun, Rusia tak bersikap seperti di Crimea. Moscow belum mengakui dua wilayah yang baru saja memisahkan diri dari Kiev.

Selain itu, Moscow juga tak mengatakan akan mengesahkan bergabungnya dua wilayah tersebut ke Rusia. Bahkan, sebelumnya Presiden Rusia Vladimir Putin meminta para pemberontak untuk menunda referendum.

Meskipun begitu, Moscow sepertinya mengisyaratkan pihaknya bermaksud menggunakan hasil referendum untuk menekan pemerintahan Kiev. Sehingga pemerintah dapat berdialog dengan para pemberontak sebagai pihak yang legal.

"Kami yakin hasil referendum seharusnya dapat menciptakan dialog antara Kiev, Donetsk, dan Luhansk," kata Menteri Luar Negeri Rusia.

Sementara itu, Uni Eropa menambahkan 13 nama dan dua perusahaan Crimea ke dalam daftar individu yang akan terkena sanksi pelarangan perjalanan dan pembekuan aset. Sejumlah nama baru pun masuk dalam daftar, seperti wakil kepala staff pertama, Vyacheslev Volodin. Selain itu, AS dan UE juga menyatakan tidak akan mengakui hasil referendum di dua wilayah Ukraina timur itu.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement