REPUBLIKA.CO.ID,BAGHDAD -- Anggota parlemen Irak yang berasal dari sunni dan kurdi meninggalkan sesi pertama pemilihan untuk mengganti Perdana Menteri Nuri al-Maliki, Selasa (1/7). Hal ini mereka lakukan sebagai bentuk kekecewaan, sekaligus tidak ada nama yang diajukan sebagai pengganti Maliki.
Pembentukan parlemen baru Irak ditujukan untuk mengakhiri krisis yang terjadi di negara tersebut. Setelah kelompok oposisi Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) melakukan sejumlah serangan dan membuat kekacauan di banyak wilayah, Maliki didesak untuk mundur.
Amerika Serikat (AS), PBB, dan Iran telah mendorong keras para politisi Irak untuk membentuk pemerintahan baru yang inklusif. Permintaan ini bahkan dinyatakan oleh ulama syiah Irak, yang mana meminta Maliki mundur dan digantikan dengan pemimpin yang dapat diterima seluruh etnis di negara tersebut.
Bubarnya anggota dari sunni dan kurdi membuat pemilihan parlemen terpaksa dibatalkan. Pembatalan ini menyebabkan pemilihan akan ditunda hingga satu minggu ke depan. Hal ini membuat banyak pihak khawatir selama jangka waktu itu, kekacauan di Irak akan semakin bertambah.
Setelah pemerintahan Irak ditinggalkan oleh kepemimpinan Saddam Hussein, perdana menteri yang ditunjuk di negara tersebut selalu berasal dari syiah. Kekacauan di Irak kerap terjadi akibat konflik sektarian antara mereka. AS, negara yang melakukan invasi ke Irak pada 2003 juga disebut sebagai pemicu konflik yang saat ini berkembang semakin luas.