REPUBLIKA.CO.ID, MOSKOW-- Rusia menutup sementara 12 cabang McDonald karena alasan kesehatan dan tengah menginspeksi lebih dari 100 cabang lainnya, demikian perusahaan makanan cepat saji asal Amerika Serikat itu menyatakan pada Jumat.
Penutupan terhadap restoran waralaba yang sangat popular tersebut dilakukan sepanjang bulan Agustus dengan alasan pelanggaran atas standar kebersihan. Beberapa pihak menilai tindakan Rusia itu merupakan aksi balas dendam terhadap sanksi negara Barat terkait krisis di Ukraina.
Dalam siaran persnya McDonald mengatakan bahwa pemerintah telah menutup 12 restoran, tujuh di antaranya berada di bagian selatan Rusia dan tengah melakukan inspeksi atas lebih dari 100 cabang lain. McDonald menyatakan tengah menyelidiki tuduhan pelanggaran dari pemerintah Rusia sebagai bagian dari upaya pembukaan kembali restoran secapatnya.
Pada Rabu, pengadilan memutuskan penutupan tiga cabang, salah satunya berada di Moskow untuk periode maksimal tiga bulan mendatang karena alasan kesehatan. McDonald berencana untuk mengajukan banding atas putusan itu.
Dalam perkembangan terakhir, juru bicara badan pengawas obat dan makanan Rusia di wilayah Yaroslav mengatakan bahwa bakteri E Coli yang berpotensi menyebabkan keracunan, telah ditemukan dalam selada yang dihidangkan salah satu cabang McDonald.
McDonald sendiri saat ini memiliki 400 cabang di Rusia dengan lebih dari 37.000 pekerja. Cabang pertama dibuka di pusat perkotaan Moskow pada era Uni Soviet dan berhasil menarik antrian panjang dari pengunjung yang ingin merasakan masakan cepat saji asal Amerika Serikat.
Penutupan terhadap cabang-cabang McDonald itu muncul pada saat negara-negara Barat menerapkan sanksi terhadap Moskow karena dinilai terlibat dalam krisis di Ukraina. Sebagai balasan, Rusia menghentikan impor atas sebagian besar bahan makanan dari Amerika Serikat dan Eropa.
Pada masa lalu, Rusia mempunyai sejarah panjang penggunaan alasan kesehatan makanan sebagai senjata melawan negara-negara yang tak-bersahabat. Meskipun McDonald adalah simbol kebudayaan Amerika Serikat, perusahaan tersebut mengaku telah berupaya membangun rantai suplai lokal dengan membeli 85 persen bahan makanan dari dalam negeri.