Selasa 24 Feb 2015 17:03 WIB

Parlemen Libya Tunda Partisipasi dalam Pembicaraan

Rep: Gita Amanda/ Red: Ani Nursalikah
Kekerasan melanda Libya (ilustrasi)
Foto: Reuters/Esam Omran Al Fetori
Kekerasan melanda Libya (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, BENGHAZI -- Parlemen Libya yang diakui secara internasional menunda partisipasinya dalam pembicaraan yang ditengahi PBB untuk memulihkan stabilitas di negara tersebut. Mereka mengklaim serangan kelompok Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS), Jumat (20/2) sebagai penyebabnya.

Juru bicara parlemen Farraj Hashem mengklaim ISIS telah melakukan serangan bom bunuh diri ganda di kota Qubbah pada Jumat. Peristiwa tersebut menewaskan 45 orang, dan membuat parlemen Libya memutuskan menangguhkan keikutsertaan mereka dalam pembicaraan.

Ia menambahkan, pihak lain tak mengutuk ledakan bahkan tak mengakui adanya terorisme di wilayah tersebut. Ia mengatakan pembicaraan tak memiliki visi apapun.

Selama ini parlemen Libya menuduh kelompok oposisi Libya Dawn memiliki hubungan dengan militan. Namun kelompok tersebut membantah tuduhan itu.

Anggota parlemen lain, Idris Abdullah, mengatakan ada kekhawatiran pembicaraan mengarah pada pembentukan pemerintahan nasional yang disetujui kedua parlemen. Hal ini menurut Abdullah mungkin akan melemahkan legitimasi parlemen.

Majelis rival lainnya, Kongres Nasional Umum di Tripoli mengatakan pihaknya bersedia melanjutkan dialog yang dimulai September lalu di Ghadames. PBB selama ini berusaha membentuk pemerintahan persatuan untuk mengakhiri perpecahan politik. PBB telah merencanakan untuk mengadakan putaran baru pembicaraan di Maroko pekan ini.

ISIS mengaku bertanggung jawab atas pemboman yang menewaskan 40 orang tersebut. Mereka mengatakan pemboman sebagai aksi balasan atas serangan terhadap ISIS di Libya.

Presiden Amerika Serikat Barack Obama mengirim surat resmi pada parlemen hari Senin, yang menyatakan akan memperpanjang keadaan darurat nasional untuk Libya selama satu tahun. Hal ini dikarenakan konflik atas kekuasaan dan perebutan ke akses sumber daya negara.

sumber : reuters
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement