Kamis 29 Oct 2015 21:01 WIB

Korut Raup Untung dari Kerja Paksa Rakyatnya

Rep: Lida Puspaningtyas/ Red: Ani Nursalikah
Warga Korut menggarap tanah di luar Pyongyang.
Foto: AP Photo
Warga Korut menggarap tanah di luar Pyongyang.

REPUBLIKA.CO.ID, NEW YORK -- Korea Utara memanfaatkan rakyatnya yang dikirim sebagai pekerja paksa demi mendapat keuntungan. PBB mengatakan Kim Jong-un telah mengirim 50 ribu orang ke luar negeri untuk bekerja dalam kondisi kerja paksa di Cina, Rusia dan Timur Tengah.

Korut menerima satu miliar poundsterling per tahun sebagai imbalan atas pengiriman buruh paksa tersebut. Pelapor Khusus PBB tentang Hak Asasi Manusia di Korea Utara, Marzuki Darusman menuduh negara tersebut melanggar Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik yang melarang kerja paksa.

Dia memperingatkan perusahaan yang mempekerjakan pekerja Korea Utara terlibat dalam suatu sistem yang tidak dapat diterima. Para buruh ini biasanya dipekerjakan dalam industri penebangan, pertambangan dan sektor tekstil dan konstruksi.

Sebagian besar dikirim bekerja di Rusia dan Cina. PBB melaporkan ada sebanyak 15 negara yang menggunakan tenaga kerja paksa Korea Utara, termasuk Kuwait, Malaysia, Polandia, Qatar dan Uni Emirat Arab.

Organisasi hak asasi manusia telah melaporkan pekerja hanya dibayar sekitar 79 poundsterling per bulan, tidak menerima makanan yang cukup dan kadang bekerja hingga 20 jam sehari. Mereka dijaga ketat oleh para pejabat Korea Utara untuk memastikan mereka tidak melarikan diri.

Sementara industri membayar pemerintah Korea Utara dalam jumlah yang jauh lebih besar untuk menggunakan pekerja. Menurut Darusman, sistem pengiriman pekerja paksa tersebut meraup hingga 1,5 miliar poundsterling per tahun.

Darusman mengatakan laporannya menyusul laporan dari Komisi Penyelidikan PBB yang dibuat pada 2014. Laporan menjelaskan rezim Korea Utara melaksanakan pola berkelanjutan pelanggaran HAM yang sistematis dan meluas.

Ia menambahkan, Dewan Keamanan harus menyeret Korea Utara ke Pengadilan Pidana Internasional untuk cepat mengadili orang-orang yang paling bertanggung jawab atas pelanggaran hak asasi manusia tersebut, termasuk orang-orang di tingkat tertinggi pengambil keputusan negara.

sumber : Telegraph
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement