Selasa 05 Jan 2016 21:13 WIB

Obama akan Memperketat Pembelian Senjata di AS

Rep: Rr Laeny Sulistyawati/ Red: Ilham
Presiden Obama
Presiden Obama

REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Presiden Amerika Serikat (AS) Barack Obama akan memperluas pemeriksaan latar belakang pembeli senjata api. Ini merupakan salah satu langkah untuk mengatasi kekerasan senjata di AS.

Rencana ini akan diumumkan pada Selasa (5/1) oleh presiden, meskipun ada penentangan dari Kongres untuk Undang-undang (UU) senjata baru. Semua penjual yang beroperasi secara online atau di pameran senjata akan dipaksa untuk melakukan pemeriksaan latar belakang calon pembeli.

Calon presiden Partai Republik, Rand Paul mengatakan, ia akan melawan tindakan eksekutif tersebut. Beberapa rival dari partai Republik juga mengatakan mereka akan menghapus tindakan Obama itu di hari pertama menjabat jika mereka memenangkan Gedung Putih.

Tapi Obama mengatakan, langkah-langkah baru ini akan berada dalam otoritas hukum dan konsisten dengan Amandemen kedua. Dia mengakui, langkah ini tidak akan memecahkan setiap kejahatan kekerasan di AS, tetapi berpotensi akan menyelamatkan nyawa dan keluarga dari rasa sakit akan kehilangan.

Semua penjual harus memiliki lisensi dan melakukan pemeriksaan latar belakang. Negara harus memberikan informasi tentang orang yang didiskualifikasi karena sakit mental atau kekerasan dalam rumah tangga.

Biro Investigasi AS (FBI) akan meningkatkan pengolahan tenaga kerja pemeriksaan latar belakang sebesar 50 persen, mempekerjakan lebih dari 230 penguji baru. Kongres akan diminta untuk berinvestasi 500 juta dolar AS (£ 339m) untuk meningkatkan akses ke pelayanan kesehatan jiwa.

Departemen pertahanan, keadilan, dan keamanan dalam negeri AS juga akan mengeksplorasi pistol teknologi pintar untuk meningkatkan keselamatan senjata.

Sebelumnya, pada hari Senin (4/1), Presiden mendengar rekomendasi dari Jaksa Agung Loretta Lynch, Direktur FBI James Comey, dan aparat penegak hukum lainnya.

Anggota Dewan dari Partai Republik Paul Ryan, mengkritik langkah Obama. "Ini adalah tingkat berbahaya melampaui batas eksekutif, dan negara tidak akan berdiri untuk itu," katanya dalam sebuah pernyataan seperti dikutip dari laman BBC, hari ini.

Advertisement
Berita Terkait
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement