Setelah menghubungi kerabat untuk meminta bantuan, Siddiq mengatakan para penculik pun mendapat 3.000 dolar Amerika Serikat untuk pembebasan mereka. Kemudian mereka tiba di Malaysia.
Tak dianggap sebagai salah satu dari 135 etis resmi di negara tersebut, pemerintah Myanmar memandang Rohingya sebagai imigran ilegal asal Bangladesh. Padahal, faktanya etnis Rohingya telah tinggal di wilayah tersebut selama lebih dari satu abad. Pemerintah telah membantah kewarganegaraan mereka sehingga mereka hidup tanpa kewarganegaraan.
Kini Siddiq, seperti banyak pengungsi Rohingya lain di Malaysia, mereka telah menemukan hidup lebih baik meski menjadi pekerja dengan bayaran murah. Ia bekerja sebagai pembersih saluran di Kuala Lumpur. Tapi ia juga dibayangi ketakutan akan deportasi karena tak memiliki status hukum di negara itu.
Malaysia, seperti banyak negara tetangganya, belum menandatangani Konvensi PBB terkait pengungsi. Itu berarti tak ada hukum untuk melindungi para pengungsi.
Menurut data UNHCR, ada 53.700 pengungsi Rohingya yang terdaftar di Malaysia. Tapi mereka meyakini jumlah pastinya tentu lebih tinggi.
Pada Oktober lalu, Unit Investigasi Aljazirah menemukan 'bukti kuat' genosida yang dikoordinasikan pemerintah Myanmar terhadap Rohingya. Bukti mengungkapkan pemerintah memincu kekerasan komunal untuk kepentingan politik dengan menghasut kerusuhan anti-Muslim