Kamis 09 Jun 2016 05:31 WIB

Harapan Hampa Migran Asal Timur Tengah Jalani Ramadhan di Eropa

Rep: Melisa Riska Putri/ Red: Nur Aini
Imigran yang tiba di Yunani berasal dari Suriah, Irak dan Afghanistan.
Foto: ap
Imigran yang tiba di Yunani berasal dari Suriah, Irak dan Afghanistan.

REPUBLIKA.CO.ID, BERLIN -- Warga Suriah pencari suaka Khairallah Swaid mengawali Ramadhan dengan berdoa untuk berkumpul kembali bersama istrinya yang terdampar di sebuah kamp di Yunani. Ia juga mengaku mendambakan makloubeh buatan ibunya di saat Ramadhan seperti ini. Makloubeh merupakan hidangan daging dan nasi yang disajikan selama bulan puasa.

Bulan suci tahun ini yang dimulai pada 6 Juni, mewajibkan Muslim puasa sejak matahari terbit sampai terbenam. Kemudian, menyantap makanan favorit bersama keluarga dan teman-teman.

Tapi bagi banyak dari ratusan ribu migran yang datang ke Eropa tahun lalu, terutama Muslim yang melarikan diri dari perang, konflik dan kemiskinan di Suriah, Afghanistan, Irak dan lainnya, Ramadhan kali ini akan menjadi pengalaman spritual yang jauh lebih terbatas.

Di Jerman, sebagian besar masih tinggal di tempat penampungan. Di sana, mereka telah lama mengeluhkan makanan yang disajikan oleh katering yang dikontrak pemerintah setempat "tidak dapat dimakan". Protes mereka semakin kencang mendekati bulan puasa.

"Anda tidak bisa memiliki Ramadhan tanpa makanan yang baik," kata Swaid (25 tahun), duduk di sebelah saudaranya Hamza di Sham (Levant), tempat penjual makanan yang populer dengan warga Suriah di Neukoelln, sebuah distrik miskin Berlin dengan populasi migran besar.

Swaid, yang tinggal di sebuah penampungan, utara dari ibukota Jerman menghabiskan sebagian besar 136 dolar AS untuk membeli makanan selama satu bulan. Ia dan pencari suaka lainnya membeli flatbeard atau roti pipih, beras, dan sayuran yang mereka masak menggunakan ketel.

"Saya rindu istri saya, tapi selama bulan Ramadhan saya akan kehilangan makanan ibu saya lagi," canda Swaid beberapa hari sebelum Ramadhan, memakan roti pipih isi ayam shawarma dan pasta bawang putih.

Banyak tempat penampungan di Berlin menjadi tuan rumah Ramadhan untuk pertama kalinya. Beberapa mencoba untuk memastikan pengalaman bersantap yang menyenangkan.

Di Tempelhof, bekas bandara era Hitler untuk menampilkan kekuatan Nazi yang kini menjadi rumah bagi sekitar lima ribu migran akan menawarkan kurma dan air untuk berbuka, sejalan dengan tradisi Muslim.

Selain itu saat ini, waktu matahari terbit hingga tenggelam berlangsung lebih lama di Eropa utara daripada di Timur Tengah. Dengan matahari lebih cepat terbit pada Juni ini, itu bisa dua hingga tiga jam lebih lama bagi migran dibandingkan negara asal mereka.

Saat matahari terbenam dalam guratan merah di atas selat Oresund yang membagi Denmark dan Swedia, Muslim dari kamp suaka Hemmeslovs Herrgard menunggu dengan tidak sabar dalam antrean kantin.

Pada 09.30 waktu setempat, setengah jam sebelum matahari terbenam, antrean sudah mencapai 25 meter. Kantin itu dipenuhi anak-anak bermain dan orang dewasa yang mengobrol dengan piring dan cangkir di tangan mereka, siap untuk menyantap menu buka puasa tepat pada 10 malam.

Magnus Falk, manajer kamp, berdiri dengan kantong roti di tangannya, berusaha menenangkan orang-orang.

"Mereka tidak puas dengan isi makanan sahur," katanya. Sekitar setengah dari 300 warga menjalankan puasa Ramadhan. Mereka semua mendapatkan kantong roti dengan sosis, yogurt, keju dan selai untuk santapan sahur.

Mohammed, seorang warga negara Suriah dari sebuah kota dekat Aleppo menemukan beberapa potongan roti di tanah di luar kantin. Ia menangis dan melemparnya keluar jendela kamarnya.

"Kami ingin memberi sisa roti untuk burung-burung, jadi saya dan saudara saya dapat melihat mereka (burung) dari dekat," katanya. Dalam Islam, umat Islam diharuskan untuk tidak membuang sisa-sisa makanan, tetapi memberikan kepada yang membutuhkan atau hewan.

Mohammed, yang datang bersama lima anggota keluarganya ke Swedia sembilan bulan lalu dan menunggu untuk wawancara dengan Badan Migrasi mengatakan tidak memiliki kesan makanan rumah. Namun, migran mencoba untuk membuatnya lebih menggugah selera dengan menambahkan rempah-rempah.

"Biasanya kami memasak makanan Arab sangat enak selama Ramadhan dan makan dengan teman-teman, tapi di sini kami sendirian. Tapi kami masih merayakan Ramadhan, karena itu adalah tradisi," katanya.

sumber : Reuters
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement