Rabu 22 Jun 2016 09:24 WIB

Sengketa Laut Cina Selatan, Indonesia Mesti Konsisten Berkeberatan

Rep: reja irfa widodo/ Red: Ani Nursalikah
Kapal patroli Cina di Laut Cina Selatan.
Foto: afp
Kapal patroli Cina di Laut Cina Selatan.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia (UI) Hikmahanto Juwana menyatakan dalam sengketa Laut Cina Selatan, termasuk klaim Cina pada Sembilan Garis Putus (Nine Dash Line), Indonesia sepatutnya memposisikan diri sebagai negara yang berkeberatan secara konsisten.

Jika hal itu tidak dilakukan, Cina bisa saja berupaya menerapkan Sembilan Garis Putus sebagai hukum kebiasaan internasional.

Hikmahanto menyatakan berdasarkan pada pernyataan Presiden Joko Widodo saat mengunjungi Jepang pada Maret tahun lalu, Indonesia menilai klaim Cina tidak memiliki basis dalam hukum internasional. Sikap ini pun diharapkan terus bertahan, termasuk soal sengketa wilayah yang melibatkan Cina dengan sejumlah negara ASEAN di Laut Cina Selatan.

''Indonesia sudah sepatutnya memposisikan diri sebagai negara yang berkeberatan secara konsisten (persistent objector) atas okupasi Cina berdasarkan Sembilan Garis Putus. Bila tidak, Cina akan mendalilkan Sembilan Garis Putus telah diterima sebagai hukum kebiasan internasional,'' ujar Hikmahanto di Jakarta, Selasa (21/6).

Sikap ini diperkuat dengan tidak mengakui klaim Cina atas Sembilan Garis Putus, termasuk dengan harapan agar di putusan Arbitrase Internasional antara Filipina dengan Cina, Sembilan Garis Putus tidak berlaku dan dinyatakan tidak sah berdasarkan Konvensi Hukum Laut PBB (UNCLOS).

Di sisi lain, Hikmahanto mengatakan, pemerintah Cina justru memposisikan diri untuk menafikan Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI) di sekitar Perairan Natuna, Kepulauan Riau. Cina mengklaim wilayah tersebut sebagai bagian dari kawasan mencari ikan nelayan-nelayan Cina.

Perbedaan pandangan inilah yang sempat memicu insiden antara aparat otoritas Indonesia dengan nelayan Cina, yang berujung penangkapan terhadap kapal nelayan asal Cina. Hikmahanto menilai, penangkapan yang dilakukan oleh aparat keamanan Indonesia tidak hanya bersifat penegakan hukum.

''Penangkapan kapal-kapal nelayan Cina di ZEEI oleh kapal otoritas, termasuk KKP dan TNI AL, disamping untuk penegakan hukum juga ditujukan untuk penegakan hak berdaulat,'' ujarnya.

Selain itu, protes yang dilayangkan Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) di setiap penangkapan kapal nelayan asing juga kian menegaskan sikap Indonesia. ''Protes itu dalam rangka Indonesia tidak mengakui Sembilan Garis Putus, berikut dengan klaim traditional fishing ground Cina,'' kata Hikmahanto.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement