Jumat 29 Jul 2016 16:28 WIB

Israel Hancurkan Ratusan Rumah Warga Palestina

Rep: Gita Amanda/ Red: Ilham
permukiman illegal di Yerusalem Timur dan Tepi Barat
Foto:

B'Tselem mengatakan, penghancuran dilakukan atas dalih bangunan-bangunan itu ilegal. Menurut B'Tselem, ini merupakan klaim palsu, sebab tak ada kemungkinan nyata Palestina diizinkan membangun di daerah itu.

"Kebijakan pemerintah, yang dilaksanakan secara sistematis selama bertahun-tahun merupakan pemindahpaksaan penduduk Palestina yang semestinya dilindungi di wilayah yang diduduki, melanggar hukum kemanusiaan internasional," kata laporan kelompok tersebut.

Pemerintah Israel membenarkan penghancuran rumah tersebut. Namun mereka mengklaim bangunan-bangunan itu berdiri tanpa izin pihak berwenang.

"Sejak awal pembangunan gedung-gedung tersebut belum disetujui pihak berwenang, langkah-langkah tegas diambil terhadap mereka," kata juru bicara Administrasi Sipil militer Israel di Tepi Barat kepada Aljazirah.

Palestina telah berulang kali mengatakan, permintaan izin bangunan telah mereka ajukan. Namun Israel umumnya menolak atau belum menjawab permintaan izin tersebut.

Angka PBB yang diterbitkan tahun lalu menunjukkan bahwa pemerintah Israel hanya menyetujui 1,5 persen dari semua permintaan untuk izin pendirian bangunan yang diajukan Palestina antara tahun 2010 dan 2014.

 

Israel telah menduduki Tepi Barat sejak Perang Arab-Israel pada 1967. Mulai saat itu pula Israel telah membangun 125 permukiman di Area C. Menurut data B'Tselem, lebih dari setengah juta warga Yahudi Israel tinggal di permukiman tersebut dan mereka terus berencana melakukan perluasan.

Direktur program lembaga think tank Al-Shabaka Palestinian Policy Network, Alaa Tartir, mengatakan penghancuran rumah perlu dipahami sebagai gambaran penindasan dan taktik pemindahan paksa Israel. Menurutnya, ekspansi teritorial dan aneksasi masih menjadi inti dari program zionis, dan penghancuran rumah merupakan salah satu alatnya.

"Dengan setiap rumah yang dihancurkan Israel, perdamaian menjadi lebih sulit dipahami dan sulit tercapai," ujar Tartir.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement