REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON/HAVANA -- Presiden terpilih Amerika Serikat Donald Trump pada Senin (29/11) mengancam membatalkan "kesepakatan" negaranya dengan Kuba dan menggantinya dengan yang "lebih baik". Ancaman tersebut adalah bagian dari janji kampanye Trump untuk membatalkan pemulihan hubungan, yang diupayakan Presiden Barack Obama, dengan Kuba, musuh Washington pada masa Perang Dingin.
"Jika Kuba tidak berniat mengupayakan kesepakatan lebih baik bagi rakyatnya dan bagi rakyat Amerika Serikat atau pelarian Kuba di Amerika Serikat, maka saya akan membatalkan kesepakatan itu," kata Trump dalam Twitter resminya.
Sejumlah warga Kuba khawatir Trump memutuskan hubungan dagang dan kunjungan di antara kedua negara itu, yang dimulai kembali dalam dua tahun belakangan, sejak Obama mengambil keputusan bersejarah dengan membuka kembali kedutaan Amerika Serikat di Havana.
Trump menyatakan hal tersebut bersamaan dengan masa berkabung kematian Fidel Castro, pemimpin gerilyawan yang berhasil merevolusi Kuba pada 1959 dan berkuasa di pulau Karibia tersebut selama hampir setengah abad. Castro meninggal dalam usia 90 pada Jumat.
Donald Trump, dalam masa kampanyenya menuju Gedung Putih, mengaku setuju dengan upaya normalisasi hubungan diplomatik dengan Kuba. Namun, dia berpendapat bahwa kesepakatan itu seharusnya bisa lebih baik.
Pada pekan lalu, majalah "Newsweek" melaporkan bahwa salah satu perusahaan Trump sempat berupaya membuka usaha di negara satu pulau berideologi Komunis tersebut. Pada Sabtu, Trump berjanji melakukan "segalanya" untuk memastikan kebebasan dan kesejahteraan bagi rakyat Kuba setelah kematian Castro dan setelah diambil sumpah jabatannya pada 20 Januari 2017.
Kuba merupakan negara tetangga sekaligus musuh utama Amerika Serikat. Mereka mengaku melawan campur tangan Washington di politik dalam negeri Havana. Pemerintah Kuba masih diam soal Trump dan menunggu apakah tokoh tersebut mengubah retorikanya selama masa kampanye.
Salah satu tim peralihan Trump adalah Mauricio Claver-Carone, yang selalu menyuarakan embargo ekonomi keras bagi Kuba.
Ada juga Robert Blau, seorang anti-komunis yang secara terbuka bersikap keras terhadap pemerintahan Castro saat menjadi diplomat di Havana di bawah pemerintahan George W. Bush.
Rakyat Kuba sendiri mengatakan bahwa persoalan utama yang mereka hadapi adalah embargo ekonomi dari Amerika Serikat, bukan pemerintahan Castro yang diteruskan oleh adiknya Raul. "Kami hidup di tengah blokade ekonomi selama 50 tahun. Jadi nasib kami akan terus sama dengan atau tanpa Trump," kata Teresa Almentero, buruh rokok. "Trump tidak akan membuat saya takut."