Senin 19 Dec 2016 18:24 WIB

Duterte Ingin Berlakukan Hukuman Mati Harian

Presiden Filipina Rodrigo Duterte saat berbicara dalam konferensi pers di Davao, Filipina selatan, 21 Agustus 2016.
Foto: REUTERS/Lean Daval Jr
Presiden Filipina Rodrigo Duterte saat berbicara dalam konferensi pers di Davao, Filipina selatan, 21 Agustus 2016.

REPUBLIKA.CO.ID, MANILA -- Pemimpin Katolik dan kelompok hak asasi manusia (HAM) Filipina pada Senin (19/12) menyebut rencana Presiden Rodrigo Duterte memberlakukan kembali hukuman mati dan eksekusi lima atau enam penjahat setiap hari biadab.

Duterte (71 tahun) menetapkan pemberlakuan kembali hukuman mati di negara mayoritas Katolik itu sebagai prioritas legislatifnya, sebagai bagian dari perang brutal terhadap kejahatan yang sudah merenggut 5.300 korban jiwa. “Ada hukuman mati sebelumnya, tapi tidak ada yang terjadi. Kembalikan itu kepada saya dan saya akan melakukannya setiap hari. Lima atau enam (penjahat). Itu serius,” kata Duterte pekan lalu, dikutip dari Antara News.

Seorang pejabat di Konferensi Wali Gereja berpengaruh Filipina mengatakan gereja menentang keras rencana Duterte itu. “Filipina akan dipandang sangat biadab. Ini akan membuat Filipina menjadi negara yang melakukan hukuman mati terbanyak di dunia,” kata Sekretaris Eksekutif Kantor Urusan Publik Konferensi Wali Gereja Jerome Secillano.

Filipina menghapuskan hukuman mati pada 2006 menyusul penentangan keras dari Gereja Katolik, agama yang dipeluk 80 persen warga Filipina. Sebelum menjabat sebagai presiden pada Juni, Duterte berjanji memberlakukan eksekusi gantung, mengatakan dia tidak ingin membuang peluru dan percaya mematahkan sumsum tulang belakang lebih manusiawi daripada eksekusi tembak.

Duterte mengatakan dia memandang hukuman mati bukanlah sebagai sarana mencegah kejahatan, tapi untuk retribusi. Ia menegaskan hukuman mati diperlukan untuk memerangi narkoba yang ia sebut merusak bangsa. Para sekutu Duterte di DPR segera mendorong rancangan undang-undang (RUU) tersebut dan mengatakan mereka akan mengadakan pemungutan suara terkait RUU itu sebelum Januari.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement