Sabtu 22 Apr 2017 03:17 WIB

Oposisi Pemerintah Turki Ajukan Banding Atas Hasil Referendum

Rep: Puti Almas/ Red: Budi Raharjo
Massa pendukung referendum Turki yang mendukung sistem presidensiil merayakan hasil referendum di Istanbul (16/4)
Foto: Emrah Gurel/AP
Massa pendukung referendum Turki yang mendukung sistem presidensiil merayakan hasil referendum di Istanbul (16/4)

REPUBLIKA.CO.ID,ANKARA -- Partai Rakyat Republik (CHP), sebagai salah satu oposisi utama Pemerintah Turki mengajukan banding atas hasil referendum yang digelar pada 16 April lalu. Bersama dengan partai pro-Kurdi, gugatan diajukan untuk menolak hasil referendum yang akan membuat konstitusi baru di negara itu.

Sebelumnya, CHP telah menekankan siap menempuh langkah hukum untuk menuntut hasil referendum. Pihaknya meyakini Pemerintah Turki yang dipimpin oleh Presiden Recep Tayyip Erdogan telah melakukan cara-cara ilegal yang digunakan untuk mempengaruhi hasil pemilihan.

"Kami mengajukan banding ke dewan negara hari ini guna menuntut pembatalan putusan dari Dewan Pemilu Tinggi (YSK)," ujar wakil ketua CHP, Bulent Tezcan dalam sebuah pernyataan, Jumat (21/4) seperti ditulis reuters.

Salah satu tindakan pelanggaran yang dilakukan YSK dinilai adalah perubahan aturan yang dilakukan menjelang akhir penghitungan suara. Saat itu, surat suara yang tidak memiliki stempel resmi tetap dapat dihitung dan dinyatakan sah.

Meski demikian, kepala badan pemilu Turki, Sadi Guven mengatakan suara yang tidak memiliki stempel dikeluarkan secara resmi oleh Dewan Pemilihan Tinggi. Karenanya, itu tetap dianggap valid dan prosedur yang sama dalam referendum kali ini sama halnya dengan pemilihan umum (pemilu) yang pernah diselenggarakan, termasuk di masa pemerintahan sebelumnya.

Tezcan menekankan bahwa CHP akan terus menuntut agar hasil referendum resmi ditunda hingga kasus dugaan pelanggaran tersebut diselesaikan.  Hasil resmi referendum diumumkan setidaknya dalam waktu 10 hari sejak pemilihan digelar.

Dengan konsitusi baru, Turki tidak akan lagi mendopsi sistem parlementer, namun menjadi presidensial dalam pemerintahan negara itu.  Sistem baru ini membuat presiden memiliki kewenangan untuk mengangkat dan memberhentikan para menteri secara langsung.

Selain itu, jabatan perdana menteri akan dihapus untuk pertama kalinya dalam sejarah Turki. Namun, nantinya terdapat seorang wakil presiden.

Sistem pemerintahan baru Turki disebut oleh sejumlah kritikus membuat Presiden Erdogan memiliki kekuatan lebih besar atas negara yang terletak di antara Asia dan Eropa itu. Terlebih, dalam ketentuan baru ini, presiden dapat secara langsung campur tangan dalam urusan peradilan.

Partai AK (AKP) juga mendapat jatah kursi pemerintahan lebih banyak. Kemudian, jumlah anggota parlemen dalam konstitusi baru Turki akan diperbanyak, dari yang semula hanya 550 menjadi 600.

Batas usia minumum bagi mereka yang ingin duduk di kursi parlemen juga diubah. Dalam ketentuan konstitusi baru Turki, tak perlu menunggu hingga usia 25 tahun, namun orang yang berusia 18 tahun diperbolehkan menjadi anggota.

Erdogan telah berkuasa di Turki pada 2002 lalu, tepatnya setahun setelah pembentukan AKP. Selama lebih dari satu dekade, pria berusia 62 itu menjabat sebagai perdana menteri, hingga pada 2014 lalu terpilih menjadi presiden.

Dengan konstitusi baru Turki, pemilihan presiden dan parlemen berikutnya diselenggarakan pada 3 November 2019 mendatang. Presiden terpilih akan memiliki masa jabatan lima tahun dan maksimal dua periode.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement