REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat dari Indonesian Society for Middle East Studies (ISMES) Smith Alhadar mengatakan Indonesia dapat memiliki peran penting dalam menengahi konflik yang terjadi di Timur Tengah.
Ia mengungkapkan beberapa faktor utama mengapa Indonesia dapat membantu terwujudnya kestabilan di kawasan tersebut.
Alasan pertama, kata Alhadar, Indonesia merupakan negara dengan mayoritas Muslim terbesar di dunia, yang berarti memiliki kesamaan dengan Timur Tengah. Namun, Indonesia tidak memiliki beban sejarah dan berada dalam posisi netral di setiap konflik di kawasan tersebut.
"Selama ini Indonesia dekat dengan Arab Saudi dan Iran, kemudian juga dalam konflik Suriah juga demikian, hingga perwakilan diplomatik negara kita juga masih bertahan di sana," ujar Alhadar kepada Republika.co.id, Senin (5/6).
Salah satu konflik terbaru yang membuat ketidakstabilan di Timur Tengah adalah dengan keputusan Arab Saudi, Mesir, Bahrain, dan Uni Emirat Arab (UEA) yang memutuskan hubungan diplomatik dengan Qatar.
Keempat negara itu menilai bahwa Qatar merusak dan memperburuk masalah regional kawasan tersebut dengan menjadi pendukung kelompok teroris, termasuk Ikhwanul Muslimin.
Qatar juga disebut mendanai, merangkul terorisme, ektremisme, serta organisasi sektarian yang dianggap berbahaya untuk keamanan nasional empat negara tersebut.
Arab Saudi saat ini telah menutup perbatasan dengan negara itu dan memutuskan memutuskan hubungan melalui darat, laut dan udara. Sementara UEA memberi para diplomat Qatar waktu selama 48 jam untuk meninggalkan negaranya.
Alhadar menjelaskan posisi netral Indonesia dapat membuat negara ini dipercaya sebagai mediator konflik di Timur Tengah, khususnya antara Arab Saudi dan Iran. Pada 2015 lalu, upaya ini menurutnya sempat dilakukan oleh Menteri Luar Negeri Retno LP Marsudi yang melakukan kunjungan ke kawasan itu.
"Tentunya ini bukanlah upaya yang bisa dilakukan dalam satu atau dua kali, Indonesia harus melakukan manuver lebih jauh untuk berperan sebagai mediator konflik di Timur Tengah, termasuk pendekatan tidak hanya dalam jalur diplomatis, tapi keseluruhan seperti agama dan budaya," jelas Alhadar.